Tuesday, July 27, 2010

Ini tulisan yang patut kita cermati. 
Di bagian bawah ada tanggapan saya
Anwari 27/07/2010






Encouragement
by Rhenald Kasali
Thursday, 15 July 2010

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus
sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada
saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?"  
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang
anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!"
Dia pun melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk
anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-
benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong,
malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif
dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI



Anwari Doel Arnowo

 to clubsixty, NSWallace, Muliawan.Marga.
show details 1:41 PM (27 minutes ago)

Teman-teman sekalian,
Saya senang ada yang mau menulis seperti ini. Namanya saja sudah menjamin mutu tulisan.
Saya ingin ada pemuka agama, agama yang mana saja, juga menerapkan seperti apa yang tersirat dari tulisan Pak Rhenald Kasali ini. Mengapa agama?
Mendidik ilmu pengetauan harus sejajar dengan mendidik masalah agama. Cerita dan dongeng dalam agama manapun, dari tahun ke tahun berikutnya, agak bertambah sukar untuk bisa ikut diterapkan dalam upaya penyesuaiannya dengan kemajuan pendidikan modern, dengan kemajuan logika dan dengan kemajuan jaman di bidang hukum. Terasa sulit menerangkan apa yang didapat oleh para cucu saya yang mendapatkan pendidikan agama melalui sekolah-sekolah mereka saat ini. Saya jarang sekali menjawab pertanyaan mereka karena akan terjadi konflik dengan yang mereka terima dari guru-guru agama mereka. Kasihanilah para anak cucu kita yang harus menelan pelajaran yang isinya mengancam-ancam mengenai surga dan neraka, juga mengenai konflik dengan Israel, yang sama sekali bukan urusan Negara RI. 
Silakan menilai sendiri cerita agama yang mana dan dengan pendidikan, logika serta hukum yang mana, karena saya tidak akan menuliskannya, demi untuk menghindari timbulnya polemik yang tidak menentu dari orang-orang yang kurang mau berubah dengan kemajuan jaman.
Indonesia dalam banyak bidang berjalan ditempat, itu masih lumayan. Ada yang mundur padahal yang lain maju. Kita boleh membawa ingatan kita di dalam sebuah surat untuk para pemuda apa yang dikatakan sdr. Anies Baswedan yang telah  menyatakan bahwa setelah 65 tahun merdeka maka jumlah persentase penduduk yang buta huruf menurun dari 80% telah menjadi 8%. Kalau ini memang benar angkanya saya ikut bergembira. Masih banyak hal lain yang dia kemukakan mengenai kemajuan Negara RI, tetapi pada kenyataannya GDP per Capita Income hanya kurang dari 4000 US$. Bandingkan dengan negara- tetangga, kita kalah. Bila dengan Kanada mungkin hanya sepersepuluh. Itu berarti banyak dana yang menyeleweng ke tempat-tempat yang tidak semestinya, karena penghasilan Negara sebenarnya bukan kecil sekali. Itu berarti pendidikan moral dan agama serta sopan santun bermasyarakat  boleh dibilang omong kosong belaka.
Dinyatakan nol besar nanti orang marah. Hampir semua orang beragama sembahyang dan terlihat tekun. Tetapi hampir di setiap kantor pemerintah, termasuk bidang pendidikan, korupsinya amat tinggi. Ini menunjukkan moral rendah sekali, berada dibawah standar. Pembangunan gedung sekolah hampir SEMUANYA meunjukkan ada korupsinya. Juga rumah-rumah ibadah. Itulah mengapa teman saya yang sudah amat senior, berusia 80 tahun, 
pernah mengatakan bahwa karena kita pada saat sekarang ini, amat banyak yang menyembah agama daripada menyembah Tuhan. Habis apel upacara bendera ada sumpah Pegawai Negeri yang diucapkan tidak akan menerima imbalan berupa apapun, langsung kembali ke meja kerjanya, seketika melaksanakan perbuatan korupsi. Hal ini janganlah terlalu lekas dibantah, nanti akan lelah karenanya.
Kita selalu menyatakan diri religius.
Kita tidak mengawasi negara lain yang sama sekali tidak peduli agama, banyak yang atheis dan malah tidak peduli tata cara agama apapun. China yang seperti itu, menghukum mati ribuan mereka yang korupsi. Siapa yang dihukum mati di Indonesia karena korupsi? Kalau memang ada, maafkan saya kalau saya memang tidak ingat. Tetapi negara-negara yang tidak memasukkan agama kedalam kegiatan pemerintahan ini telah menjadi makmur, padahal tidak mempunyai sumberdaya alam seperti halnya dengan negara kita.
Ayo kita berdialog dengan diri sendiri dan mencari jawabnya. Dengan satu jawaban atau banyak jawaban, kita pasti bisa menggunakannya untuk ikut membawa perubahan yang baik bagi Nusa dan Bangsa Indonesia.
Salam saya
Anwari Doel Arnowo
Toronto - 27 Juli, 2010

No comments: