Wednesday, September 2, 2009




Agama

Anwari Doel Arnowo Sabtu, 07 Januari 2006 - 10:54:38

Tulisan saya tertanggal 7 Desember 2005 yang berjudul “Religi” saya buka kembali dan saya membacanya sekali lagi. Saya simpulkan isinya masih relevant sekarang, hari ini 7 Januari 2006. Akan tetapi karena ada lagi “masalah” yang masih membutuhkan perhatian kita maka saya menulis lagi yang ini dengan judul “Agama”. Definisi Agama telah saya kutip dalam tulisan saya yang tersebut diatas dari Kamus Bahasa Umum Indonesia.

Saya mendengar dari yang pernah berkunjung ke negeri China secara extensive, China mempunyai penduduk beragama Islam sebanyak lebih dari seratus juta. Seperti pernah kita alami bersama, Pemerintah Indonesia pernah memusuhi negeri China ini dengan amat keras dan tidak manusiawi. Kita mengatakan bahwa mereka beraliran komunis dan anti Tuhan. Ya, seperti semua maklum, negeri China sampai sekarang masih komunis, tetapi kelihatannya mereka sudah capitalistic. Apapun yang pernah dituduhkan kepada mereka agar kita, rakyat Indonesia biasa, memusuhi mereka telah terasa tidak patut dan overacting.

Kenyataannya pada jaman Mao Tze Tung, sudah ada orang beragama disana baik Islam maupun Kristen. Tetapi yang pernah beredar cerita burung dari mereka yang mengendalikan pemerintahan Republik kita ini, bahwa China itu memusuhi agama dan tidak berTuhan. Para penyelenggara negara waktu itu telah menyesatkan opini masyarakat dengan sengaja dan secara ngawur. Pada waktu itu Amerika Serikat yang anti komunis menjalin hubungan baik dan correct dengan Republik Rakyat Tiongkok demikian juga Kekaisaran Jepang. Kita sekarang bisa menyaksikan bahwa Tiongkok telah menjadi maju secara ekonomi dan kehidupan sehari-harinya capitalistic, tetapi penguasa negaranya tetap Partai Komunis. Seharusnya Republik Indonesia sudah dapat melaju cepat seperti itu karena kita mempunyai Pancasila. Sila pertama dari lima Sila dalam Panca Sila adalah KeTuhanan, tetapi para penyelenggara Negara kita yang beragama dan menjalankan agama semaunya sendiri, terbukti dengan jelas memeperlihatkan diri kelihatan seperti orang alim akan tetapi mencuri uang rakyat secara terus menerus. Uang yang menjadi hak rakyat tetapi dimasukkan kantong pribadi, padahal selalu menunaikan ibdahnya dalam agama secara terus menerus. Lihatlah orang-orang yang dulu atau yang sekarang masih pejabat negara, yang sekarang telah dihukum oleh Pengadilan dan mendekam didalam penjara, atau yang menjadi dan mempunyai status tersangka, bagaimana kehidupan beragamanya? Biasanya bisa dianggap hampir tanpa cela secara lahiriah. Mungkin yang tercela adalah pencurian uang rakyat dan menikmati uang tersebut untuk memberi makan dan kemudahan bagi anak-anak dan istrinya.

Bukankah suasana menjadi antagonis sekali apabila di dalam kesehariannya para pejabat dan penyelenggara negara menampakkan diri sebagai takwa kepada agamanya, terbukti di kemudian hari bahwa uang dan hak rakyat telah mencuri seperti tersebut di atas, bukan saja oleh pejabat tinggi Pusat di Ibu Kota Negara, tetapi juga ditingkat diseluruh kelurahan dan mungkin sekali di RT dan RW baik di ibu kota Kabupaten maupun di desa-desa dan pelosok-pelosok wilayah negara.

Apalagi negeri China sekarang telah berubah banyak dan orang Indonesia sibuk menjadi tourist ke sana secara berbondong-bondong hampir tanpa kendali. Jumlah penduduk mereka sekarang satu miliar tiga ratus juta, saya kagum jumlahnya, dan terkagum lagi mereka semuanya bisa makan. Saya tidak tahu apakah mereka mengimport beras dan gula serta lain-lain bahan makanan dari negara lain seperti dilakukan oleh negara kita, Republik Indonesia, yang penduduknya hanya berjumlah seperlima dari jumlah penduduk China.

Saya menyetujui apa yang tersebut didalam Al Quran Terjemah Indnesia yang diterbitkan oleh PT Sari Agung Jalan Kebon Sirih 94, Jakarta pada Juni 1997. Disebutkan bahwa sifat perintah dan larangan dalam Al Quran adalah berpegang kepada tiga asas, yaitu:

Tidak memberatkan dan menyulitkan

Tidak memperbanyak tuntutan

Tidak sekaligus dalam membuat hukum

Keterangan tentang ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut:

Asas Pertama:

Didalam Al Quran terdapat banyak aturan yang meringankan suatu tuntutan dan mempermudah pelaksanaannya.

Diantaranya adalah jika sedang melakukan perjalanan (musafir), dibolehkan memperpendek (Qashar) shalat yang empat rakaat menjadi hanya dua rakaat saja, mengumpulkan (jamak) dua waktu shalat menjadi satu dan meninggalkan Puasa di bulan Ramadhan dengan meng-qadha-nya dilain bulan Ramadhan

Asas Kedua:

Didalam Al Quran hanya sedikit ayat-ayat yang mengandung tuntutan, terutama tuntutan-tuntutan yang berat. Dari keseluruhan ayat-ayat Al Quran yang berjumlah 6236 itu hanya sekitar 200 ayat saja yang mengandung perintah/larangan secara tegas.

Asas Ketiga:

Aturan-aturan yang diharuskan untuk dilaksanakan terjadi secara berangsur-angsur; tiap ayat yang diturunkan selalu ada hubungannya dengan suatu peristiwa yang terjadi dengan pertumbuhan alam fikiran manusia dan kebutuhan masyarakat. Adat kebiasaan yang baik dan tidak mengandung mudharat dibiarkan berlaku terus, sedang yang tidak baik dihapuskan dan dilarang, tetapi dengan cara yang bijaksana dan berangsur-angsur, seperti pada pelarangan minum khamar (minuman keras) dan penghapusan perbudakan. Demikian pula halnya dalam menetapkan kewajiban-kewajiban. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Al Quran itu tidak hanya mengatur, tetapi juga mendidik sesuai dengan sifat yang melekat pada diri yang menciptakannya, yaitu Allah Rabbul ‘Alamin (Allah pengatur semesta alam).

Oleh karena para pembaca Al Quran kebanyakan berpedoman kepada pembacaan dalam huruf Arab saja (yang berarti hanya dalam bahasa Arab juga) maka pengertian bahasanya sudah menjadi dilemma sendiri. Para muslim Indonnesia yang bahasa Arab sehari-hari saja sudah susah sekali dalam menguasainya, apalagi bahasa Arab yang dipergunakan didalam Al Quran, yang seperti syair dan sastra tinggi. Perdebatan mengenai keharusan untuk menggunakan huruf Arab didalam membaca Al Quran dan tidak harus boleh saja dilanjutkan sampai ada titik temu pada suatu saat kemudian hari. Kedua belah pihak jangan memaksakan kehendaknya, seperti halnya dalam urusan lainnya, janganlah memaksakan kehendak sesuai gambaran dalam ketiga asas diatas. Sebab dengan memaksakan penggunaan huruf Arab saja, sudah menjadi menutup kemungkinan bagi yang tidak menguasainya untuk membaca Al Quran dalam huruf Arab. Bukankah nabi Muhammad s.a.w. sendiri tidak dapat membaca, seperti sebanyak tiga kali diakuinya sendiri ketika beliau bertemu pertama kali dengan malikat Jibril a.s.? Seperti disebut dalam Al Quran nabi Muhammad s.a.w. bertemu dengan malaikat Jibril a.s. pertama kali pada malam 17 Ramadhan atau dalam tahun Masehi adalah 6 Agustus tahun 610. Beliau menjadi Rasul selama lebih dari dua puluh dua tahun lamanya, dimulai saat beliau mencapai umur 40 tahun, 6 bulan dan 8 hari menurut tahun Qamariyah, tetapi 39 tahun 3 bulan dan 8 hari menurut tahun Syamsyiah.

Bagi yang membolehkan pemakaian huruf lain selain huruf Arab dalam membaca Al Quran adalah merupakan tindakan yang membuat mudah orang dalam memahami dan melaksanakan ibadah / syariah agama Islam.

Apalagi kalau kita ingat pada sabda nabi yang mengatakan ...... belajarlah biar sampai ke negeri China sekalipun.

Bagaimana kalau perintah beliau itu dipraktekkan dan tetap bersikukuh menggunakan bahasa Arab saja?

Dari manakah kaum Muslim yang sekarang berada di Tiongkok itu belajar agama Islam sehingga mereka menjadi Muslim? Apakah benar mereka, yang tadi disebut berjumlah lebih dari seratus juta orang, semuanya menguasai bahasa Arab? Kita sebaiknya menggunakan logic dalam hal ini.

Kalau kita berbeda pendapat mengenai hal ini, bersabarlah saja, karena saya yakin sekali bahwa pada suatu saat nanti kaum Muslim akan mau memahami pendapat apapun yang tidak sama dengan yang diyakininya sekarang. Dalam tiga asas tersebut diatas semua tidak dapat dilakukan segera tetapi secara berangsur-angsur. Di dunia ini selama kita berwujud sebagai manusia maka tidak ada yang abadi. Semua yang ada di dunia ini selalu berubah, dan yang tetap didunia ini adalah perubahan itu sendiri, sering saya kutip dan katakan kepada siapapun saja pada kesempatan dan waktu yang sesuai.

Akhir-akhir ini kita terusik dengan berita mengenai aliran kepercayaan yang mempercayai bahwa Lia Aminuddin adalah Jibril dan dia menyebut dirinya sebagai Maria yang melahirkan Isa. Saya kurang jelas mengenai hal ini karena berita di surat khabar juga simpang siur penyiarannya. Polisi telah memindahkan mereka dari lokasi rumah mereka, dengan paksa dan menggunakan alasan yang jelas dan masuk akal karena menghindari amuk massal dari orang-orang penghuni sekitar. Ini memang dapat disaksikan dalam siaran berita di Televisi, dimana kita bisa melihat para pemuda menyuarakan suara seirama secara serempak: Hancurkan, Hancurkan ... Hancurkan ..... secara terus menerus.

Menteri Agama menyatakan tidak akan mengeluarkan larangan ajaran Lia Aminuddin dan menyerahkan sepenuhnya masalahnya agar ditangani oleh Polisi. Itulah pernyataan yang bijaksana, para penghuni yang ingin menyerbu rumah Lia Aminuddin itulah yang tidak bijaksana. Saya harap Lia Aminudin tidak akan dihukum karena kepercayaannya. Itu salah satu kebiasaan jelek kita kalau sudah bergerombol menjadi massa. Massa gampang dipengaruhi oleh para pelaku lain yang mempunyai maksud tertentu dengan menimbulkan kekacauan. Dari adanya kekacauan itulah mereka memperoleh keuntungan. Apa bentuk keuntungan yang diharapkannya? Biasanya berupa hasil jarahan dan rampokan atau biaya siluman yaitu “biaya keamanan”.

Rakyat/ummat yang menjadi sengsara tidak dipikirkan sebelumnya.

Di dalam Koran Jakarta Post tanggal 5 Januari 2006 ada tulisan seseorang bernama Arif Maftuhin di Seattle, Amerika Serikat. Dia adalah seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga dan sekarang sedang menuntut ilmu sebagai siswa di School of International Studies, University of Washington di Amerika sebelah Barat. Dia mengalami keterkejutan sebagai berikut. Temannya menunjukkan kepadanya tempat bersembahyang kaum muslim di Seattle yang berasal dari Somalia, dari Cambodia dan dari Palestina. Mereka, apalagi yang sudah menjadi warga negara Amerika Serikat, bersembahyang terawih dan Jumat secara berjamaah disitu juga. Dimana? Disalah satu ruangan di Gereja!! Mereka kaum Muslim itu menyewa ruangan disana. Di Boston University ada ruangan yang disebut Sacred Place. Para Muslim bisa bertarawih disana dan agama lainpun disilakan untuk melaksanakan sembahyang atau ritual lainnya disana.

Ada program yang disebut sebagai the Fast-Thon, yang intinya adalah beratus-ratus mahasiswa dan orang lainnya yang bukan Muslim, melakukan puasa bersama selama satu hari dalam menemani kaum Muslim yang tergabung dalam Muslim Student Association, memulai Puasa Ramadhannya. Mereka ini, bukan Muslim, sehari itu tidak makan dan minum dari subuh sampai petang (from dawn to dusk).

Juga dalam tulisan itu disebutkan, bahwa mereka dapat menjalankan ibadah dan syariah Islam dengan bebas tanpa gangguan dari siapapun karena dijamin oleh undang-undang dan sama sekali tidak terpikirkan ingin membuat negara Islam. Heran sekali kita yang majority sudah berpenduduk Islam banyak yang masih mendambakan Negara Islam seperti halnya NAD (Nangro Aceh Darussalam). Berapa nyawa telah melayang dan berapa kilo liter airmata ibu yang kehilangan anak dan suaminya hanya untuk membela agama? Tidak tahukah mereka perihal adanya ketiga asas diatas. Mengapa mesti membela agama sehingga mengorbankan nyawa orang untuk “mencapai”nya. Apakah yang dibela sebenarnya? Agama? Tuhan? Saya menunjuk buku karangan Abdurrachman Wahid yang berjudul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Judul itu tepat sekali karena seringnya kata-kata tersebut dipakai banyak orang yang dengan alasan tersebut telah merusak tempat ibadah agama terutama dari aliran lain. Menghilangkan nyawa orang lain dengan alasan sama yang telah dilakukan oleh kaum Muslim atas beratus-ratus ribu orang (bangsa sendiri) yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia atau orang yang duduk ditempat nyaman didalam masyarakat. Memalukan sekali, tetapi itu telah menjadi sejarah. Gus Dur ini juga pernah minta maaf sewaktu menjabat Presiden, atas pembunuhan seperti diatas, yang dilakukan oleh kaum Nahdliyin tahun 1965–66 –67.

Saya hanya ingin kembali merujuk hadis nabi yang mengatakan untuk menyerahkan segala sesuatunya hanya kepada ahlinya. Kaum yang mengutamakan agama dalam hidupnya agar tetap mempertahankan context keagamaan saja. Jangan mencampuri masalah pemerintahan, jangan mencampur-adukkan dengan keamanan dan lain-lainnya. Pemerintahan diserahkan kepada ahli pemerintahan dan pertahanan negara serahkan kepada tentara serta keamanan serahkan kepada Polisi. Masih banyak yang dapat diajarkan dalam bidang agama, tanpa masuk kedalam bidang lain. Kalau orang Buddha atau Kristen dan juga Muslim mau berkonsentrasi, masih banyak sekali yang harus dibenahi secara intern. Setelah hal intern beres silakan secara extern mensinkronisasikan dengan masalah sosial lain, misalnya sopan santun, kesehatan dan bermasyarakat pada umumnya. Ini tidak berarti bahwa orang beragama, Buddha, Kristen dan Islam tidak boleh menjadi insinyur, dokter, menteri bahkan presiden. Mereka yang Kristen kalau jadi Menteri maka sebaiknyalah jangan mencampur-adukkan pekerjaannya dengan kedudukannya sebagai menteri dengan keKristen-annya.

Created by Anwari Doel Arnowo

16:21:01

---ooo000ooo---

No comments: