BAHASA ARAB - GUS DUR
Diterbitkan dalam
KOLOM GUS DUR, sang penulis News Nasional
Chasbullah dan Pribumisasi
Senin, 03/03/2008
Beberapa puluh tahun lalu penulis artikel ini mengikuti upacara penguburan Kiai Husni. Semuanya menunggu kedatangan KH M Bisri Syansuri yang diperkirakan naik becak ke tempat penguburan. Begitu sampai, dia ditanya siapa yang akan
memimpin talkin bagi Kiai Husni itu. Dia menjawab: kalau ada, Chasbullah Salim saja yang melakukan itu. Nama yang disebut terakhir adalah saudara sepupunya dari Lasem. Lantas, secara
bersama-sama semua kiai dan para pelayat berangkat ke kuburan. Segera saja almarhum Kiai Husni dimakamkan dan kuburnya ditimbun dengan tanah.
termasuk KH M Bisri Syansuri. Ketika Kiai Chasbullah Salim diminta memimpin talkin, Kiai Chasbullah menyatakan sesuatu di luar dugaan. Dia menyatakan tidak akan membacakan talkin
dalam bahasa Arab karena almarhum Kiai Husni lebih fasih berbahasa Arab. Juga, dia nyatakan bahwa talkin itu tidak penting bagi orang yang sudah mati, tapi justru penting bagi mereka yang
masih hidup—kalau mereka nyatakan Islam adalah agamaku, Allah adalah Tuhanku, Muhammad adalah nabiku. Hal itu adalah bentuk keberanian Kiai Chasbullah Salim dalam hal pribumisasi Islam. Dia seharusnya memahami bahwa penggunaan bahasa Arab di negeri kita dianggap sebagai ekspresi keislaman.
Hal ini tampak dalam sajian “lagu-lagu Arab”, yang di negeri kita dianggap “lagu Islam”. Identifikasi bahasa Arab sebagai “bahasa Islam” itu membuat orang mengasosiasikan Arab sebagai ajaran agama.
Padahal, di negerinya
Pribumisasi yang dilakukan Kiai Chasbullah Salim itu merupakan bagian dari proses modernisasi yang tengah berjalan dengan pesat di seluruh dunia. Namun, akar-akar dari proses itu terhunjam sangat dalam di hati kaum muslimin. Mereka tidak suka dengan proses modernisasi model peradaban Barat. Apalagi, kalau hal itu disertai perubahan besar dalam moralitas kaum muslimin seluruh dunia. Padahal, ini adalah apa yang tengah berlangsung di kalangan kaum muslimin yang begitu banyak jumlahnya.
Karena itu, responsi fatalistik di kalangan mereka mengambil bentuk sikap anti-Barat. Dalam memberikan responsi seperti itu, ternyata juga tidak sama manifestasinya dari tempat ke tempat di negeri kita. Inilah apa yang harus diingat dalam memahami sejarah kaum muslimin di negeri ini sekarang. Reaksi yang diperlihatkan umat Islam di negeri ini, pada waktu ini menampilkan bentuk yang tidak sama.
Hal ini tampak antara lain dalam seruan menegakkan pemerintahan khalifah (khilafah) di negeri kita oleh sebuah gerakan Islam, Hizbut Al-Tahrir Indonesia (HTI), tanpa menyadari bahwa tidak ada kewajiban maupun perintah-perintah lain dalam ajaran agama Islam. Dengan memahami proses-proses seperti itu, akan kita ketahui bagaimana responsi kaum muslimin di negeri kita terhadap apa yang mereka rumuskan sebagai tantangan dari luar terhadap kaum santri.
Responsi yang tidak sama bentuknya maupun kadarnya di tiap tempat yang berbeda-beda, tentulah harus kita ingat. Hal ini mengharuskan kita untuk mempelajari agama Islam dalam dua bagian, yaitu studi klasik ajaran Islam dan studi kawasan (area studies)yang sekarang sudah menjadi begitu luas jangkaunya. Kesemuanya itu dilihat dari sebuah kacamata saja, yaitu kepentingan apa yang dinamakan umat Islam. Tetapi ia dapat juga dilihat sebagai langkah pembanding yang dilakukan oleh sementara kalangan kaum santri. (*)
Mar 3, 2008 by Cak Doel
DALAM BAHASA ARAB TUHAN ADALAH : A L L A H . kALAU DISEBUT ALLAH ITU BUKAN BERARTI TUHANNYA ORANG ISLAM SAJA, JUGA TUHANNYA ORANG kRISTEN YANG BERASAL DARI BANGSA ARAB.
Cak Doel (Anwari Doel Arnowo)
No comments:
Post a Comment