Thursday, August 6, 2009

44 Tahun Yang Lalu

Anwari Doel Arnowo - Sabtu, 20 Juni 2009

44 Tahun Yang Lalu

Umur saya waktu tahun 1965 sudah 27 tahun, tinggal di Jakarta, sudah bisa mengabsorb gosip apapun, gosip kelas tukang becak dan gosip produk intel, bertebaran. Kaum intelekpun juga bergosip dan lebih seru karena mereka menyebut nama-nama terkenal baik politikus maupun perwira tinggi militer yang begitu banyak. Bukan gampang bagi saya menghafalkan pangkat militer dan istilah-istilahnya yang sering disingkat-singkat. Ada Kodim, ada Lettu ada PHB dab RPKAD serta ada DenPom dan Koramil. Dengan terpaksa karena ingin juga ikut mendengarkan gosip yang sedang in, maka saya ikut menghafalkan kata-kata tersebut yang juga amat berguna untuk digunakan bila saat kita mendengarkan warta berita baik televisi maupun radio. Banyak hari harus kita lalui dengan mendekam di rumah dalam keadaan gelap serta tidak bisa, karena tidak berani, pergi ke luar rumah, karena ada jam malam. Siapa bikin jam malam? Membingungkan sekali, Tentara apa Polisi, yang jelas rakyat harus tetap di rumah masing-masing tidak dibolehkan sama sekali berada di luar halaman. Musuh kita tidak jelas. Ada perebutan kekuasaan di tingkat atas dan ada beberapa perwira tinggi militer yang mati. Tersebar luas bahwa PKI adalah dalang segala-galanya, yakni dalang pembunuhan para jenderal, dalang kerusakan eknomi, kerusakan moral dan melakukan perbuatan amoral. Sukar bagi saya untuk mendapat berita atau gosip yang patut diandalkan kebenarannya.

Banyak yang isinya bombastik, berlebih-lebihan seakan-akan orang-orang PKI mau menyerbu dan merampok daerah Kebayoran Baru di mana saya bertempat tinggal di jalan Airlangga. Meskipun hal itu tidak pernah terjadi, kita telah terpaksa wajib berjaga-jaga sepanjang malam sampai pagi, di tingkat RT dan RW. Tidak berani saya menolak dan membolos dari giliran jaga, meski keesokan harinya saya bekerja di Departemen Perindustrian Maritim. Semua orang bisa menuduh orang lain dan dituduh PKI oleh siapapun, hanya karena ada masalah suka dan tidak suka.

Sampai sekarang, keadaan 44 tahun yang lalu, 1965, banyak yang tidak jelas, karena sengaja disamarkan dan kita banyak pula kita yang tidak perduli lagi. Tidak hirau, tidak mau tau dan beranggapan bahwa itu semua kan masalah yang sudah lama berlalu. Sing wis yo uwis, yang sudah ya sudah. Seperti ini begitulah masyarakat kita melalui masa empat puluh empat tahun lamanya. Meskipun banyak orang yang mengetaui sesuatu, tetapi amat sedikitlah mereka yang perduli, berani bersuara, memberitakan, merekam dan menulis dalam kerahasiaan. Mereka sadar banyak hal telah tercipta sehingga mereka harus begitu, karena penghalang yang mereka jumpai adalah Pemerintah totaliter dan repressive, orde baru dan para pengikutnya yang saat ini masih menduduki jabatan-jabatan tinggi.

Pada tanggal 17, 18 dan 19 Juni 2009, saya sempat hadir di sebuah Konferensi di Singapore atas undangan Asia Research nstitute and Faculty of Arts & Social Siciences National University of Singapore dan Australian Reasearch Council’s Asia Pacific Futures Research Network (APFRN).

Dengan judul: THE 1965-1966 INDONESIAN KILLINGS REVISITED, dibawah kelola empat governors: Anthony Reid dan Douglas Kammen dari National University Singapore dan Katharine McGregor serta Vanessa Hearman dua-duanya dari The University of Melbourne, konferensi telah dapat terselenggara dengan lancar dan menyenangkan. Hadirin yang terdaftar ada 125 nama dan didatangkan dari banyak negara termasuk Indonesia, juga dari Canada, Australia, belanda dan Amerika Serikat, Nepal, Pilipina. Saya sudah membaca daftar nama-nama yang jelas terdaftar, tetapi saya juga bertemu dengan mereka yang tidak ada di dalam daftar seperti Pak Iwan yang Sekretaris Dua dari KBRI Singapura dan beberapa orang lain. Panitia, meskipun meliputi anak-anak muda mahasiswa maupun lulusan National University of Singapura yang bersemangat dan berkerja professional, dapat memenuhi kebutuhan konferensi dengan sempurna.

Di dalam suasana konferensi yang diisi oleh para sejarawan yang amat mendalami ilmunya terungkaplah banyak hal yang tidak pernah saya dengar karena memang saya tidak pernah bisa mengaksesnya dari segi sejarah seperti mereka. Maka pencerahan banyak saya dapat dari konferensi ini karena detil dari semua kejadian ini dapat diungkapkan dengan fakta sejarah. Menggunakan catatan wawancara dengan peralatan mutahir, pemutaran film yang dibuat dan diprakarsai oleh Bapak Putu Oka Sukanta, yang punya gelar ET , bukannya Extra Terestrial, tetapi Ex Tapol-Bekas Tahanan Politik, yang telah mendekam di dalam penjara Salemba dan Tangerang selama sepuluh tahun lamanya. Ditangkap tahun 1966 dan dibebaskan serta ditangkap lagi. Pak Putu ini seumur dengan saya yang akan menjadi 70 tahun pada bulan depan. Dia menyatakan bahwa dirinya adalah seorang Ex Tapol yang beruntung.

Sejak dilepaskan statusnya dari tahanan beliau telah berhasil menerbitkan beberapa buku (salah satunya tidak mencantumkan namanya) dan membuat beberapa film, dan berkarya untuk kehidupannya dengan praktik sebagai akupunkturis di sebuah klinik miliknya yang disebutnya dengan Care, Support & Complementary Treatment for HIV/AIDS, Taman Sringanis Foundation–IHPC/ AUSAID. Sambil bergiat seperti ini Pak Putu telah berhasil berkelana ke 18 negara.

Saya berkenalan di konferensi dan berhasil berbicara banyak dengannya, terutama saya terkesan dengan sebuah filmnya yang pendek yang menggambarkan keberhasilan dalam mewawancarai banyak orang bekas korban G-30-S yang mau mengungkapkan sedikit atau malah ada yang banyak dari pengalamannya masing-masing. Filmnya bagus dan hasilnya sekelas film komersial, saya sendiri bermaksud membeli compact-disknya bila saya ke Jakarta dalam bulan depan. Apa yang terungkap dari film pak Putu maupun dari hasil wawancara yang dilakukan oleh mereka yang berkebangsaan asing tetapi amat perduli dengan gerak sejarah Indonesia, sungguh menggugah pikiran semua hadirin untuk ikut perduli. Saya sendiri ingin sekali melengkapkan apa yang terungkap di dalam konferensi ini, untuk keperluan agar bisa dipakai oleh generasi anak-anak dan cucu saya yang telah belajar dari guru-guru yang mengajarkan sejarah sesuai dengan arahan pemerintahan yang dikuasai oleh para petinggi militer dari presiden, menteri sampai gubernur-gubernur sampai lurah-lurah dan aparatnya sekalipun.

Para guru ini telah mengajarkan sejarah dengan arahan yang salah, harus berbohong sepanjang masa. Sejarah yang diarahkan adalah hasil karya dari Brigadir Jenderal Drs. Nugroho Notosusanto yang telah banyak menggunakan penafsirannya sendiri, yang menguntungkan mereka yang menjadi atasan langsungnya

Sampai hari inipun sejarah seperti itu belum berhasil di kembalikan ke yang sebenarnya terjadi. Angkatan Darat amat berkepentingan agar versi yang mereka kehendaki bisa berhasil ditanamkan kedalam otak para keturunan bangsa di masa yang akan datang. “Kejahatan” G-30-S yang selama ini diakui sebagai hal yang benar, menjadi hal-hal yang amat patut diberi tanda tanya besar. Selama para muda usia ini masih teracuni oleh sejarah yang versinya adalah his story, bukan yang seharusnya adalah history, maka harapannya pada saat ini, masih kecil, dalam upaya kita bisa mengalami kesatuan bangsa yang utuh. Terlalu banyak yang ditutupi dan tidak dikatakan karena sejarahnya memang akan bisa mampu mengungkapkan banyak peran tentara kita di masa itu yang amat keterlaluan.

Ada satu bagian dari konferensi yang membicarakan: Colonel Sarwo Eddie’s Travel in Java and Bali September December 1965, yang dikemukakan oleh David Jenkins, seorang yang saya ingat sebagai pelaku media yang pernah dijadikan seorang persona non grata oleh pemerintah orde baru. Di sesi ini David mengungkapkan bahwa pertama-tama Sarwo Eddie datang dengan pasukannya dan bertemu dengan kaum ulama di Semarang dan segera setelahnya terjadilah pembunuhan massal yang tingkatnya mencapai sekitar 1500 orang yang dianggap PKI per hari. Mungkin ada yang benar-benar anggota PKI, tetapi hal itu toh tidak pernah dibuktikan apalagi diungkapkam di dalam sebuah pengadilan.

Hal seperti ini bak seperti photocopy saja terjadi disemua tempat yang dia kunjungi selama sekian lama di Jawa Tengah, di Boyolali dan ke Yogyakarta.

Selanjutnya cara begini merembet ke Jawa Timur dan Bali. Pembunuhan dilakukan oleh kaum militan agama karena mereka menganggap bahwa komunis adalah musuh Tuhan dan juga musuh agama. Diungkapkan bahwa pembunuhan-pembunuhan yang hebat dan kejam terjadi di mana-mana di hampir seluruh darah di Tanah Air kita. Pembunuhan ini kalau tidak dilakukan oleh pasukan Sarwo Eddie, maka dilakukan oleh kaum yang diindoktrinasi dan tercuci otaknya.

Kaum Nahdatul Ulama di bagian Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur telah melakukan pembantaian dengan kejam dan tanpa perikemanusiaan, tanpa memandang kawan atau saudara. Khusus di dalam sesi ini juga diingat: bahwa Presiden Kyai Haji Abdurrahman Wahid pada masa awal dari masa pemerintahannya telah menyatakan penyesalannya yang mendalam dan meminta maaf atas nama Nahdatul Ulama terhadap perbuatan-perbuatan biadab seperti itu. Yang disesalkan adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang sama dilakukan oleh RPKAD Pasukan Sarwo Eddie dan Angkatan Darat pada umumnya di seluruh Indonesia, terkesan kental sekali dilakukan penyamaran (hazy dan foggy) agar dilupakan dan dianggap tidak ada.

Mari kita perhatikan hal-hal di bawah ini:

Diungkapkan oleh sebaian besar sejarawan ahli yang amat mendalami masalah-masalah dan fakta-fakta yang bersifat fitnah, mengunkap sesungguhnya PKI itu sebenar-benarnya tidak tau menau apapun soal dan masalah apa yan ada di internal Angkatan Darat yang menyebabkan terjadinya pembunuhan para jenderal-jenderalnya sendiri.

Diungkapkannya pula bahwa tidak ada satupun jenderal yang disiksa di Lubang Buaya, tidak ada kemaluannya yang dipotong dan disakiti badannya. Mereka hanya hanya ditembak saja.

Diungkapkannya bahwa para Tapol itu ditangkap dan ditahan di dalam penjara selama puluhan tahun, dan di asingkan ke dan di pulau Buru, tanpa diadili dengan layak. Demikian juga terungkap ada banyak yang serta merta dibantai langsung dan dikubur secara massal.

Diungkapkannya bahwa banyak kuburan massal yang yang selama ini telah ditemukan dan didaftar, akan tetapi pada suatu saat nanti di kemudian hari akan diungkapkan, setelah payung hukumnya sudah ada dan mendukung pengungkapan seperti ini. Juga sudah ditemukan satu kuburan massal yang dikirakan berisi sebanyak lima ribu orang, di Selatan Yogya. Konon menurut penyelidikan para sejarawan telah terjadi pembnuhan wanita-wanita yang dicurigai sebagai anggota Gerwani.

Sungguh disayangkan bahwa saksi-saksi sejarah kelam ini tidak banyak lagi yang masih dalam kondisi hidup sehat karena telah tiada atau telah amat lanjut usia. Pencarian seperti ini, saya diberi-tau, masih menggebu dilakukan oleh mereka yang bersemangat. Mereka ini masih muda usia dan terpelajar, bersedia melakukan hal-hal ini karena demi kebenaran latar belakang sejarah yang benar demi masa depan Indonesia. Mereka ini bukan hanya yang berkebangsaan Indonesia tetapi banyak yang berkebangsaan bukan Indonesia.

Diungkapkannya bahwa penyiksaan para Gerwani dan para tahanan wanita yang tidak mengerti apa urusannya dia ditahan, tidak lain hanyalah karena pelecehan seksual yang memalukan untuk saya ungkapkan, tetapi dalam salah satu sesi seorang pembicara Annie Pohlman dengan topik berjudul Sexualised Violence agaist Women during the year 1965 – 66 Massacres, telah mengungkapkannya dengan detail sekali.

Di setiap daerah diungkapkan kekejaman militer kita di dalam bertindak kepada penduduk setempat sehubungan dengan tuduhan terlibat PKI:

Di Sumatra Utara (Medan) oleh Tan Yen Ling (National University Singapore)

Di Sumatra Barat oleh Narny Yenny (Univ. Andalas)

Di Lampung oleh Pak Nasir Tamara yang terkenal dan sekarang bertempat tinggal di Singapura

Di Cirebon dan Jawa Barat oleh Laurie Margot Ross dari Los Angeles USA.

Di Solo oleh Theodora Erlijna (Institut Studi Sejarah Indonesia)

Di Sulawesi oleh Taufik Ahmad (Univ. Hasanuddin) yang mengatakan bahwa sampai saat ini sukar dicari datanya karena masyarakatnya yang bangsawan dan kuat beragama memang membenci PKI, jadi seakan-akan dengan mudah disimpulkan bahwa tidak ada PKI di sana.

Di Timor Barat dan Nusa Tenggara Timur oleh Steven Farram (Charles Darwin Univ.)

Khusus mengenai para Bansernya Nahdatul Ulama, ulasan diberikan lumayan detil oleh Greg Fealy (Australian National University dan Katharine McGregor ( The Universiy of Melbourne)

Juga ada dibahas masalah di Blitar Selatan dan Kalimantan.

Hampir seluruh wilayah di Indonesia dibicarakan kelainan dalam bertindak dan tata cara dalam pendekatan keamanannya oleh TNI Angkatan Darat dalam mengamankan dan tetap menjaga serta memelihara kekuasaan yang ada di dalam tangan mereka.

Pada hari kedua saya sudah mereka-reka apa yang akan memuncak sebagai hasil utama tiga hari kita mengalami upgrading data-data di conference yang istimewa dan penting ini. Ternyata saya menemui beberapa hal yang tidak saya duga. Pembicaraan saya seara bebas pada waktu jeda minum kopi yang dua kali pagi dan siang hari, serta makan siang dengan sekian banyak sejarawan, mereka ini, sebagian besar. mengatakan sebagai berikut ini. Mereka adalah sejarawan, bukan politikus, bulkan politisi praktis. Apa yang mereka ketaui bukan merupakan hasil rekayasa kepentingan tertentu hingga amat jauh dari niat membalas dendam. Hal-hal yang terungkap didalam conference mereka biasanya sudah amat mendalami sendiri sebagai hasil research meeka sendiri sebagai ilmuwan, tidak karena mereka menerima keuntungan materi dari kapitalis-kapitalis tertentu.

Hari ketiga atau terakhir di dominasi oleh para pembicara Indonesia dimulai oleh Asvi Warman Adam, yang amat mengkhawatirkan masalah pengajaran sejarah. Diungkapkan bahwa pelurusan sejarah telah diupayakan oleh sebuah team pemerintah yang telah terbentuk pada pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan pimpinan Dr. Taufik Abdullah. Menrut pengamatannya hasil kerjanya telah dibukukan, akan tetapi pengesahannya dilakukan dengan penandatangan oleh Dr. Taufik Abdullah, yang tidak kunjung membububuhkan tandatangannya.

Diah Ariani Arimbi (Univ. Airlangga) mengambil judul: “History is Not on Her Side” Discourses of G-30-S and the Killing Aftermath in Contemporary Indonesian Literary Writings

Pembicara-pembicara berikutnya pak Nur Kholis (KOMNAS HAM – Indonesian National Commission of Human Rights) menerangkan peran Komnas Ham terhadap penyelidikan mengenai Pembunuhan Massal 1965-1966.

Winarso dari Sekretariat Bersama Korban 1965-66 yang berusaha menyatukan oraganisasi-organisasi para korban yang banyak itu untuk menjadi suatu kekuatan yang kuat.

Giliran Pak Putu Oka Sukanta menerangkan mengenai jalan hidupnya selama ditahan dan setelah bebas dengan tarantuk-antuk berusaha tetap suvive, karena KTPnya dicap ET. Dia ditangkap karena dianggap sebagai anggota LEKRA yang dikatakan juga adalah afiliasi PKI. Banyak para mereka yang mengetaui mengatakan bahwa bukan LEKRA yang mengakui menjadi bagian dari PKI, tetapi mungkin sekali PKIlah sebagai sebuah Partai Politik yang berkekuatan besar, “mengangkat anak” Lekra menjadikanya berada di dalam lindungannya. Berbelit-belitnya cara pikir militer, yang sering terlihat amat tidak masuk di akal sehat mengait-ngaitkan sesuatu yang kecil-kecil, menjadi sesuatu yang cukup besar untuk dijadikan musuh keamanan, dan pada giliranya: ditingkatkan lagi menjadi musuh nasional.

Korban sebagian besar adalah rakyat kecil yang tidak tau apa-apa. Ayah pengemudi mobil saya adalah seorang petani biasa, buta huruf, ditangkap karena dianggap sebagai anggota BTI (Barisan Tani Idonesia). Petani biasa, bukan orang berada, buta huruf, menjadi musuh yang berbahaya bagi Negara?? Di sekeliling saya juga terjadi pembersihan dari sisa-sisa PKI, dari mereka yang dicurigai sekecil apapun sampai mereka yang dicegah menjadi pegawai negeri dan menjadi Taruna Akademi Militer Nasional. Orang yang lengkap kartu identitasnya, secara berseloroh, justru mereka yang sebenar-benarnya mungkin orang PKI. Tetapi kalaupun benar mereka PKI, kadar atau tingkat seperti apa mereka harus mengalami siksaan fisik maupun batin yang luarbiasa seperti diungkapkan? Apalagi juga disertakan juga semua keturunan langsungnya maupun yang ada di garis mendatar dari hubungan familinya.

Saya ingin agar semua ini bisa jelas dalam suatu kejujuran sehingga anak cucu saya dan juga anak cucu para pembaca, akan bisa mendapatkan masukan yang benar dalam mendidik keturunan-keturunan saya dan anda yang terlahir di masa generasi berikutnya.

Tidak ada satu orangpun yang bisa berbohong secara terus menerus.

Saya ingat Ex Menteri Penerangan bernama Mashuri SH, Ketua RT didaerah rumah kediaman Suharto di sudut Jalan Irian dan Jalan Agus Salim, Menteng. Dialah yang telah digosipkan menyelamatkan Suharto karena memberitaukan adanya pembunuhan para Jenderal pada tanggal 30 September 1965, telah minta berhenti dari jabatannya sebagai Menteri Penerangan. Dalam sebuah media pernah saya baca bahwa: kepada salah seorang temannya, dia mengatakan sebabnya dia minta berhenti: “Saya tidak tahan kok setiap hari diminta untuk berbohong terus-menerus.”

Di tingkat Menteri ada cerita seperti itu, kebohongan telah demikian kronisnya sehingga sejarah ingin dirubah menjadi persepsi kepentingan pribadi, bukan sebagai fakta.

Saya simpulkan amat menonjol perlunya diadakan pertemuan-pertemuan yang sifatnya bisa mengungkapkan sejarah-sejarah kelam akibat perbuatan manusia tidak jujur yang selama ini telah dengan sengaja dibiarkan terjadi. Saya kira meskipun sudah empat puluh empat tahun berlalu, kita tidak terlambat. Terus, pastikan kita akan mampu menghasilkan sesuatu yang layak dan pantas.

Anwari Doel Arnowo

Singapura - Sabtu, 20 Juni 2009 - 21:24


--
Anwari Doel Arnowo
anwaridanowo@gmail.com
Verba volant scripta manent...
Literal: spoken words fly away, written words remain
Literal: kata diucapkan akan terbang menghilang, tetapi yang dituliskan akan abadi


No comments: