Tuesday, August 11, 2009

KITA BUKAN HIDUP SENDIRI

Tulisan ini (ditulis pada tahun 2004) saya muat kembali karena mendekati bulan puasa 2009

Bulan Suci
5 Nopember, 2004
Anwari Doel Arnowo

Hal tersebut di bawah ini, sudah pernah saya kemukakan beberapa tahun yang lalu, hanya saja tidak tertulis dan tidak juga melalui media pers manapun juga. Para lawan bicara saya dan para pembaca tulisan saya sehalaman mengenai hal ini, hanya menganggukkan kepalanya, dalam cara mereka menyatakan persetujuannya. Dalam bulan suci seperti ini banyak pihak ingin mengoreksi orang lain di kalangan muslim. Mereka ini melupakan bahwa kaum muslim tidak berkelompok sendiri tetapi juga bercampur dengan kaum lain, baik yang beragama maupun tidak, apalagi kalau tempatnya seperti kota Jakarta. Ada penduduk asing yang agamanya lain, ada juga orang Indonesia yang agamanya tidak sama. Mereka ini bisa saja rakyat biasa, pengusaha, diplomat bahkan wisatawan asing. Sarana hidup manusia sudah demikian canggihnya, mereka membutuhkan tempat-tempat sosial. Ada café internet, ada sarana internet hotspot di warung kopi atau tempat-tempat hiburan lain. Jangan lupa sarana-sarana layanan ini memberi kesempatan lapangan kerja bagi mereka yang memerlukannya agar bisa mendapatkan nafkah yang halal. Sebenarnyalah nafkah tetap dan halal menyebabkan orang dapat menghindari perbuatan kufur.

Nafkah adalah jelas halal, meski seseorang bekerja sebagai anggota satuan pnegaman atau bagian Umum atau bagian Pembukuan di perusahaan.

Misalnya perusahaannya adalah import dan serta menjual minuman keras, penjual makanan daging babi seperti di hotel-hotel atau tempat-tempat yang memiliki komunitas International yang lain. Sarana-sarana layanan seperti ini juga menghasilkan uang pajak bagi Negara. Semua tau uang hasil Pajak digunakan untuk serta dalam membiayai
apa saja, misalnya pembangunan sarana jalan, pelabuhan dan lain-lain kepentingan umum.

Sebenarnya niat kaum muslim yang pernah mengamuk dan merusak sarana-sarana diatas itu "dipicu" dari niat baik yaitu mengingatkan pihak-pihak lain yang sedang berlaku sesat. Dalam kasus seperti ini yang biasanya bisa berlaku untuk umum, sebaiknya kita menelaah dengan mantap diri kita sendiri dahulu, sebelum mengurusi pihak lain.

Saya lebih condong agar slogan hormati orang yang berpuasa dibuat juga yang isinya adalah kebalikannya, yaitu hormatilah orang yang tidak berpuasa. Bukankah ada manusia dan golongan lain yang bukan sealiran dengan kaum yang muslim? Sebenarnya ibadah dalam bulan ramadhan telah bertambah nilai karena telah dapat menahan nafsu diri sendiri. Malah mungkin sekali mendapat pahala yang setimpal.

Seingat saya sejak masa sekolah dulu pada waktu berpuasa, saya sudah biasa membelikan orang lain makanan yang dimakan di depan saya, mereka ini ada yang muslim dan ada yang bukan muslim. Pada waktu sekolah, waktu main bola saya menjadi kiper. Kalau kelompok saya kalah saya selalu membeli makanan untuk mereka yang menang, Saya membayar tetap tdak ikut makan, karena sedang berpuasa.

Bahkan pada waktu saya masih aktip berbisnis dulu, saya ikut duduk dimeja makan bersama rekan-rekan bisnis asing: orang Amerika, Canada dan Jepang atau Korea. Selama saya duduk, saya juga melakukan percakapan bisnis seperti biasa tanpa mengkonsumsi makanan atau minuman ataupun merokok, karena sedang berpuasa, dan pada akhirnya, sayalah yang membayarnya, karena memang saya yang mengundang mereka. Saya juga tetap berpuasa meskipun iklim kurang menunjang, yaitu suhu di luar mencapai minus sepuluh derajat Celcius di Amerika dan
Jepang dan juga suhu mencapai lebih dari plus empat puluh derajat Celcius di tengah hutan di Kalimantan.

Saya menceritakan hal ini karena hal ini amat effektif bila dicerna dengan hati dan suara batin yang bersih. Saya tidak bermaksud menyombongkan diri karena saya paling kuat seperti superman. Saya meyakini semua ini dapat saja dilakukan oleh si Polan, hanya saja haruslah si Polan ini mau dan bersedia untuk melakukannya dengan niat yang teguh. Itu saja.

Tidak ada aji-aji yang lebih canggih dari pada kemauan. Gampang. Mudah. Semua orang bisa. Saya anjurkan bagi rekan-rekan Muslim lain agar menyadari bahwa dalam agama lain masih ada ibadah yang namanya Puasa, terdapat di dalam agama Katholik, agama Kristen dan “agama” (lebih tepat ajaran) Buddha dan agama Hindhu. Puasa dalam bahasa Inggris adalah fast dan dalam bahasa Jepang adalah danjiki simasu. Apakah para Muslim sudah menghormati mereka pada waktu mereka berpuasa ?

Terakhir sekali apakah kita juga menyadari bahwa ada ummat Islam yang tidak berpuasa karena alasan kesehatannya ? Atau perempuan haid. Kalau kita percaya dan yakin bahwa Allah subhanahu wataala dan Allahazza wajala serta Allahu Akbar, adalah pencipta seluruh alam dan isinya, maka marilah kita renungkan mengapa begitu beragam ciptaanNya. Ada manusia, hewan dan ada setan, ada macam-macam agama, macam-macam kelakuan dan akal budi dan pikiran. Ada kapitalis ada komunis, ada polisi ada pencopet. Ada alam yang tenteram dan ada bencana alam yang dahsyat. Ada kaya dan ada miskin dan papa. Hal-hal yang baik dan buruk, segala macam antagonisme lainnya, itu semua membuat manusia harus lebih dewasa setiap saat. Kita bisa menjadi dewasa tanpa menyadarinya karena kita hidup ini tidak hidup sendiri. Kita hidup berinteraksi.

Tuhan adalah bagi seluruh manusia.

Tokoh terkenal Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah mengatakan kira-kira begini : "Lho, Allah itu bukan Tuhannya orang Islam saja, orang Arab yang beragama Kristen saja memanggil Tuhannya dengan Allah, karena Allah itu adalah bahasa Arab yang artinya Tuhan"

Pengetahuan kita dalam masalah agama sejak empatpuluhan tahun yang terakhir ini, terutama sejak G-30-S PKI, dipermukaan kelihatan makin tebal. Takut dituduh PKI, seorang PKI yang tulen saja, mungkin membuat KTP baru yang menyebut agamanya Islam. Yang saya maksud dengan dipermukaan adalah kulitnya, adalah hanya ritualnya, tingkah dan lakunya sera pakaiannya saja. Orang lebih percaya kepada apa yang dikatakan seorang ustadz atau kiai atau pemuka agama lain yang pandai menyampaikan masalah apapun mengenai agama yang dianutnya. Tetapi kelemahan kaum muslim adalah justru terhadap perintah Allah yang pertama kali kepada Nabi kita Muhammad s.a.w. yaitu: BACALAH. Saya senang kalau orang dapat mengatakan sesuatu karena hasil bacaannya sendiri, bukan karena bisikan, ceramah atau ancaman atau desas desus yang berasal dari orang lain. Yang saya maksudkan orang lain termasuk juga ustadz, kyai dan pemuka agama serta tokoh pimpinan Negara. Saya tahu ada anjuran untuk sering berjamaah, akan tetapi jemaah yang berkumpul adalah heterogen, ada yang pandai dan ada yang kurang pandai. Yang merasa kurang pandai, biasanya selalu percaya kepada yang lebih pandai, apalagi yang cara menyampaikannya juga pandai.

Informasi benar atau salah atau kurang benar, akan dengan mudah ditelan dengan bulat-bulat sehingga kualitasnya jatuh dan turun. Suara bathin sendiri diabaikan, hanya karena ada suara yang bentuknya lebih baik dan diucapkan oleh orang yang diakui lebih pandai. Tetapi ada tulisan Gus Dur yang mengutip kata-kata nabi Muhammad: "Khatibhin nas 'ala qadri 'uqulihim.” Berbicara kepada manusia sesuai dengan akal mereka. Saya ingat dalam ilmu menjual (Sales) maupun ilmu hubungan masyarakat (Public Relations) diajarkan yang kira-kira intinya adalah Know Your Audience atau kenalilah para hadirin di depan anda. Berbicaralah sesuai dengan kecerdasan mereka.

Kalau yang kurang cerdas bisa dinaikkan kecerdasannya, itu sesuatu yang hebat. Tetapi dapatkah para penyampai pesan-pesan agama ini sedikit menurunkan derajatnya dirinya sendiri dan berbicara dengan menggunakan tingkat kecerdasan mereka (para hadirin)? Saya teringat kepada ajaran didalam ilmu menjual, agar berbicara dengan tingkat yang setara serta sepadan terhadap lawan bicara. Dengan pekerja kasar jangan menggunakan kata-kata ilmiah yang sulit dicerna, misalnya marketing, indeks harga atau apapun istilah yang agak mentereng. Demikian juga sebaliknya apabila bicara dengan seorang Gubernur juga harus di level yang sama. Berbicara dengan Gubernur akan sia-sia bila anda cerita mengenai copet kalung dengan paksa yang terjadi disebuah gang yang sempit.

Dia bisa saja akan menganggap cerita anda adalah seperti riak gelombang ditengah samudra, tidak berarti apa-apa ! Dudukkanlah diri anda sejajar dengan Gubernur.

Suatu saat pada tahun 1969 waktu saya menjabat sebagai salah satu pimpinan sebuah perusahaan Pemerintah di Palembang, saya mengadakan acara ceramah agama seusai sembahyang Jumat. Saya mengikuti saran beberapa orang yang menganjurkan seorang lulusan IAIN (Institute Agama Islam Negeri). Dia membuka ceramahnya dengan bertanya, apa di antara hadirin ada yang bisa membaca huruf Arab ? Dari sekitar duaratusan hadirin, tidak ada seorang pun yang mengacungkan jari tanda bisa membaca huruf bahasa Arab. Penceramah menjawab: Baiklah dan membalikkan badannya dan mulai menulis.

Sebuah papan tulis besar yang disiapkan sebelumnya ditulisi dengan hati-hati dan menggunakan huruf-huruf Arab yang kecil-kecil, memakan waktu kira-kira limabelas menitan. Hadirin lumayan gelisah selama penceramah sibuk menulis, dan sisa waktu ceramah ternyata sebagian besar hadirin sudah tidak mempunyai perhatian terhadap penceramah, malah ada yang tertidur.

Ini menjadi pelajaran berharga. Saya menyalahkan diri saya sendiri karena telah mengundang penceramah yang tidak compatible dengan pendengarnya.

Minggu depannya saya memutuskan mengudang seorang kiai yang sedikit agak "kampungan" sudah tua dan agak ompong tetapi bicaranya masih lantang. Hasilnya ? Banyak tertawa dan banyak pertanyaan ! Menarik sekali. Pokoknya JRENG !! Untuk honor pak Kiai saya pribadi menyumbang limapuluh Rupiah dari gaji saya yang tujuhratus limapuluh Rupiah. Ada yang berkomentar bahwa sumbangan saya akan membuka lebar pintu sorga bagi saya. Biarpun tidak
saya ucapkan, akan tetapi saya heran dan takjub apa benar bisa begitu? Limapuluh Rupiah? Di dalam Al Quran yang terdiri dari 6236 ayat-ayat, hanya sekitar 200
ayat-ayat saja yang mengandung perintah/larangan secara tegas. Jadi isi Al Quran hampir sebanyak 94 % dimaksudkan agar sesedikit mungkin mengandung tuntutan yang berat, artinya tidak menyusahkan/memberatkan/ menyulitkan hidup manusia.

Meskipun Al Quran telah menetapkan azas-azas, perintah /larangan akan tetapi tidak mudah untuk menjalankannya. Ada hambatan-hambatan yang amat pribadi bagi setiap muslim untuk menjalaninya. Maka pedoman yang paling baik adalah, jalankan semua perintah dan jauhilah larangan sebatas kemampuan masing-masing orang, tanpa rasa terpaksa atau bersikap memaksakannya. Perhitungan dosa dan rachmat yang diterima seseorang, tidak dapat kita tentukan selagi kita masih disebut manusia biasa. Jalani saja kehidupan dengan biasa dengan keyakinan bahwa nanti di pintu akhirat akan ada perhitungannya sendiri.

Disinilah kita akan berhadapan seorang diri dengan kekuatan Illahi, yang akan mengadili kita. Tidak ada pihak lain yang dapat menolong dengan mengubah perhitungan dosa atau ganjaran yang layak kita terima. Benar-benar kita sendirian dalam membuat pertanggungan jawab kehidupan kita di alam fana.

Itulah sebabnya, dalam menyatakan ketidak setujuan kita terhadap orang lain yang berzina, yang minum minuman keras dan yang berjudi tidak usahlah kita selaku muslim yang telah merasa baik, meluapkan amarah dengan merusak milik orang lain. Kalau kita sedang berpuasa, melihat ada orang lain yang sedang menikmati makanan, jangan meludah atau memperlihatkan sikap tidak suka
karenanya. Apalagi bila menyuruh sebuah warung untuk menghentikan usahanya pada bulan puasa, kan itu tidak lain hanya puasanya orang Muslim saja??

Menunjukkan perilaku seperti itu, maka patutlah dinilai telah kalah dalam berperang mengalahkan nafsunya sendiri. Kalau sudah kalah begini, maka dia sama sekali tidaklah patut ikut merayakan "Hari Kemenangan" yang didengung-dengungkan itu.

Serahkanlah segala macam penindakan atas pelanggaran diatas kepada aparat Pemerintah dan perangkat hukumnya, meskipun efektifitasnya anda merasa ragu. Untuk menghapus dosa janganlah kita membuat dosa lain.

Anwari Doel Arnowo – 5 Nopember 2004

No comments: