Wednesday, November 25, 2009

Esprit de Corps

Anwari Doel Arnowo Saturday, August 05, 2006

Esprit de corps

The common spirit existing in the members of a group

Kesamaan semangat di antara anggota dalam sebuah group

Sering kita tidak dapat mengerti mengapa sebuah gerombolan mempunyai rasa kebersamaan yang begitu tinggi, sehingga berani menghalalkan perbuatan apapun, hanya demi untuk menunjukkan kesetiaannya kepada grombolannya yang eksklusif. Contoh soalnya terdapat disegala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah sampai kalangan elite sekalipun. Rata-rata manusia jenis apa sajapun merasakan perlu untuk mendemonstrasikan perasaan kebersamaan diantara gerombolannya. Yang kita tengarai dan kita namakan sebagai gerombolan ini, mungkin saja segerombolan orang yang menggunakan nama-nama: Serikat, Persatuan, Partai, Brigade, Kaum, Alumni, Paguyuban serta Keluarga Besar dan sebagainya.

Ada Serikat Pekerja Perusahaan Perkebunan Anu, ada Persatuan Wredatama Republik Indoneia, ada Partai Bulan Bintang, ada Brigade Mobil Polisi.

Ada Kaum Wanita Bersatu, ada Alumni Universitas Anu dan Ini, ada Paguyuban Keluarga Pasundan, dan Keluarga Besar Veteran.

Semua gerombolan atau persatuan orang-orang yang sejenis seperti ini, biasanya membanggakan dirinya sendiri-sendiri dengan merasa diberi dukungan oleh gerombolan yang diwakilinya.

Disinilah mulai timbul gejala dan upaya menjunjung gerombolannya sehingga melebihi gerombolan lain. Gerakan semacam ini lumrah saja, karena pada hakikatnya yang seperti ini adalah biasa. Langkah yang mulai pada tahap berikutnya adalah yang sudah dalam tahap membahayakan. Langkah itu adalah menjelekkan pesaingnya. Seperi halnya dalam ilmu menjual, diberi perkenan untuk memuji barang yang dijualnya setinggi langit, tetapi jangan sekali-kali menjelekkan barang jualan orang lain. Ini memang keadaan yang ideal, akan tetapi manusia condong serakah dan condong mencapai apa yang dikehendaki dengan jalan apapun. Dengan suasana seperti ini, maka susah melakukan sopan santun yang baik, suatu hal yang patut dianut oleh para cendekia, para petinggi pemerintahan dalam Negara dan para rochaniwan.

Tetapi yang terjadi selama ini adalah diluar dugaan. Maka terjadilah persaingan dan pertentangan tidak sehat dimana-mana.

Kita ambil contoh militer yang menggambarkan tempat yang seharusnya paling mungkin diterapkannya keteraturan dan penyeliaan yang rapi.

Tetapi apa yang kita baca dalam media jelas memperlihatkan Tentara bertempur dengan Brimob, atau Tentara dengan Tentara lain. Pasukan Pengawal Kepresidenan pun pernah terlibat keributan. Di dalam kalangan Militer kita mengharapkan pelaksanaan disiplin yang tinggi, tetapi lain harapan dan lain pula kenyataannya.

Di kalangan I D I (Ikatan Dokter Indonesia) pun akan luntur kesetiaan anggotanya kepada IDI, kalau unsur alumni muncul, kemudian juga mungkin akan mengerucut ke gerombolan yang lebih kecil seperti kantor tempat mereka bekerja, misalnya Rumah Sakit Tjipto Mangoenkoesoemo.

Pernah terjadi tawuran pelajar di Jakarta, pelajar STM lawan pelajar SMA, atau dari SMA yang sama tetapi lain kelas.

Kita juga masih ingat perkelahian antar anggota RT dengan RT yang lain, RW yang satu dengan RW yang lain, bahkan warga desa satu dengan desa yang lain.

Organisasi Massa sebuah Partai sering berhadap-hadapan dngan Organisasi Massa Partai yang lain.

Instansi Pemerintah satu dan yang lain tidak luput saling menyalahkan, saling melemparkan kekesalan dimuka media pers dan media lainnya.

Seringkali tanpa mempunyai rasa malu, diantara para anggota yang terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat juga beradu physic. Semua ini amat memalukan dan tetap saja merupakan sejarah yang pernah terjadi.

Yang amat saya rasakan memprihatinkan adalah kebanggaan gerombolan yang ada di esprit de corps, berubah menjadi kesombongan dan kepongahan yang tiada berujung. Saya merasakan bagaimana dokter dan tentara serta gerombolan lain merasa harus memiliki menantu yang juga dokter, juga tentara dan juga orang sederajat dan segerombolan.

Gerombolan elite seperti ini sudah mewabah kesegala arah, sehingga saya sudah amat sedikit sekali punya minat membicarakannya. Akan tetapi karena saya sekarang sudah berumur, maka tidak ada gunanya saya menahannya didalam hati dan sekarang sajalah saya kemukakan apa yang saya pendam selama ini. Setuju ataupun tidak terhadap pemikiran saya ini, tidak terlalu saya pikirkan. Saya ingin mengungkapkan beberapa contoh masalah kedokteran.

Seorang berkebangsaan Indonesia, lulus menjadi dokter dari sebuah Universitas di Jepang. Menjadi dokter di sebuah Pangkalan Militer Amerika Serikat di Utara kota Tokyo dengan kurun waktu lama, sehingga bisa dan tetap ditugaskan sebagai surgeon / ahli bedah untuk menangani serdadu korban perang Viet Nam yang extra gawat. Setelah mencapai sepuluh tahun lamanya dia pulang ke Indonesia.

Untuk memperoleh ijin praktek dia diharuskan latihan kerja dirumah sakit dengan status yang tidak jelas.

Sampai datang waktunya di dalam suatu operasi seseorang pasien yang sedang berjalan seorang jururawat seperti menghina menanyakan kepadanya apa nama alat pemotong yang sedang dipegangnya ditambah dengan ucapan sinis: “Tahu kan namanya apa?”

Saya dengar bukan dokter kita saja yang lulusan luar negeri mendapat perlakuan seperti itu, dokter dari suatu Negara besar seperti Amerika Serikat saja kalau pindah daerah tempat praktek di negara bagian lainnya, akan harus menempuh ujian. Yang penting anggota esprit de corps tidak terganggu dengan pendatang baru, yang nota bene kemungkinan besar lebih pandai.

Masalah dokter seperti ini harus diadakan peliputan undang-undangnya yang akan mengatur masalah ini dengan tegas, dan tidak mengecualikannya dalam keadaan apapun. Hal ini penting digaris bawahi, karena kalau dokter dari Negara asing sulit memperoleh ijin praktek, mengapa dalam menangani adanya bencana alam yang terjadi, dokter asing dapat membantu berpraktek, dan malah berpraktek sendiri, menjalankan operasi yang pelik dan canggih?? Apakah ini bukan hanya karena menghargai masalah hak azasi kemanusiaan?

Bagaimana kalau terjadi mala praktek, bukankah yang rugi pertama kali adalah sang korban yang mengalami bencana plus mala praktek??

Apakah pemerintah setempat, di tempat bencana, telah memeriksa kualifikasi yang bersangkutan, sebelum diperbolehkan untuk mengikuti bekerja di tempat bencana? Bagaimana pula dengan para engineer yang memasang jembatan, para akuntan yang menghitung besar sumbangan uang dan barang?

Saya pertanyakan juga kemampuan professional soldiers yang datang ke Timor Leste, apa mereka mengerti akar permasalahannya?

Kebalikan dari masalah-masalah tersebut diatas adalah apa yang saya saksikan di sebuah siaran televisi kemarin. Ternyata menjadi seorang anggota Polisi di Kanada juga dibuka bagi seorang pemegang kartu Permanent Resident, jadi bukan warganegara Kanada. Sebelum ini, sudah lama bagi pemegang Kartu Permanent Resident di Kanada banyak yang menjadi Pegawai Negeri. Saya dengar yang semacam ini dapat dinikmati oleh misalnya seorang Mesir yang menjadi pegawai negeri di Arab Saudi dan Kuwait.

Created by Anwari Doel Arnowo

---ooo000ooo---

No comments: