Anwari Doel Arnowo
7 September, 2010
Mencintai diri sendiri
Apa ya arti: 私は自分との愛の中にいます ?
Itu artinya saya mencintai diri saya sendiri, mengucapkannya: Watashi wa jibun(baca: jibung) to no ai no naka ni imasu yang di dalam bahasa Inggrisnya adalah: I am in love with myself. Terasa egois atau selalu mengingat diri sendiri saja, tetapi sejak jauh hari, di jaman awal kehidupan dan tersimpan selalu di dalam lubuk hati manusia, yang siapapun dia atau di manapun juga dia, memang begitu, kan?? Kalau anda mengalami bencana alam atau bencana lain, untuk siapa yang pertama-tama anda lakukan penyelamatan??
Diri sendiri dahulu, baru orang lain!!
Itu baik, dan bukan dosa!
Justru gaya dan jurus kehidupan inilah yang mengelola kehidupan sepanjang umur kita!
Yang saya keluarkan dari isi hati saya di atas itu tentu saja telah diketaui dan dipahami oleh semua orang termasuk saya, yang saya seharusnya mengungkapkannya secara tertulis lebih awal ..
Saya pikir kita sudah patut membicarakannya dengan berterus terang.
Kita hidup di dunia ini sebenarnya siapa yang memulai??
Jawab yang saya setujui sesuai dengan pengetauan yang saya dapat sampai saat ini, adalah tidak ada satu manusiapun yang memulainya. Jawaban ini tentu saja bisa berubah nanti kalau sesuatu yang masuk di akal kita, yang berbunyi sebaliknya, ketika saatnya tiba nanti, akan muncul.
Semua manusia lahir ke dunia ini tanpa dia tau kapan akan lahir. Setelah lahir saja dia perlu bertahun-tahun bisa mengerti bahwa dia itu hidup di dunia ini. Hidup?? Apa itu??
Yang dia tau dia harus makan dan tidur dan merasa kan lapar serta ingin mengetaui apa saja yang melintas di depan pandangannya dan di sekelilingnya. Tiga tahun sudah umurnya, dia belum mengetaui dia itu hidup, untuk apa hidup dan apa artinya hidup bagi dirinya sendiri. Demikian seterusnya tiap periode di dalam hidupnya, dia tetap saja ingin tau hidup untuk apa dan sampai kapan.
Itu terjadi kepada diri Hayam Wuruk, kepada Ramses, kepada Galileo serta kepada Diponegoro dan Soekarno. Semua manusia menggandrungi hidup, ingin sekali mengerti untuk apa dan sampai kapan akan hidup. Tidak ada satu pun yang meminta dihidupkan. Bagaimana mati? Itu terjadi tanpa diketaui bila, dalam hal mati wajar. Dua hal yang masih merupakan misteri sampai hari ini: kapan mulai hidup dan kapan kepastiannya untuk mati. Saya juga masih mempunyai pertanyaan-pertanyaan sama seperti tu. Demikian juga Cheng Hoo, Albert Einstein atau Pak Marhaen dan Bob Hope yang lucu itu, serta Stephen Hawking yang punya gelar Sir dan Professor. Baru beberapa hari yang lalu Stephen Hawking ini membuat gempar dengan pernyataannya yang hebat seperti bisa dibaca di bawah ini sebagai berikut:
JAKARTA, KOMPAS.com – Pendapat kontroversial fisikawan Inggris Stephen Hawking yang mengabaikan peran Tuhan dalam penciptaan alam semesta ternyata bikin heboh seluruh dunia. Stephen Hawking pun langsung menjadi topik perbincangan paling hangat di Twitter bertengger di puncak trending topics.
Saat dikunjungi Jumat (3/9/2010) malam, jumlah tweet dengan keyword atau kata kunci stephen hawking mencapai lebih dari 1000 kali hanya dalam waktu setengah jam saja. Rata-rata pengguna twitter meneruskan informasi dari berbagai situs soal pendapat yang kontroversial tersebut.
Tak sedikit yang mengaku sudah memesan buku terbaru karangan Stephen Hawking lewat Amazon berjudul “The Grand Design”. Dalam buku yang akan diluncurkan 9 September mendatang di Inggris, Hawking menulis sejumlah pendapat yang menuai banyak tanggapan itu.
Hawking menuliskan bahwa alam semesta bisa tercipta karena hukum gravitasi. Menurutnya, tak perlu membawa-bawa nama Tuhan seolah-olah sebagai penciptanya. Ia menjelaskan teori M yang menjelaskan bagaimana alam semesta dapat tercipta secara spontan.
Pendapat tersebut langsung menuai tanggapan dari banyak pihak dan menjadi memunculkan opini tanggapan di media massa Inggris. Menanggapi pendapat kontroversial tersebut, sejumlah pemuka agama di Inggris mengatakan tak perlu mempertentangkan agama dan sains karena punya cara pandang yang berbeda. Salah satu kolega Hawking di Universitas Cambridge juga berpendapat Hawking memaknai istilah Tuhan secara berbeda dengan makna dalam kitab suci.
Kompasonline,3 September 2010
Link berikut ini adalah aslinya ditulis di dalam bahasa Inggris:
http://anwaridoelarnowo.blogspot.com/2010/09/why-god-did-not-create-universe-by.html
Itulah sebabnya saya memakai credo di bawah signature saya di setiap email saya yang berbunyi: Flowing like water, avoid big conflicts – Mengalir seperti air, menghindari konflik yang besar.
Itu artinya saya sudah berserah diri karena tidak bisa menjawab banyak pertanyaan di atas. Saya berserah diri kepada kehidupan yang ada di sekeliling saya. Saya tidak berserah diri kepada pemerintahan, tidak kepada masyarakat dan tidak kepada keluarga saya. Saya mengalir seperti air. Saya tau benar bahwa di antara para pembaca, pasti ada yang ingin mengajak saya sekarang ini kesuatu arah yang di percayaai seratus persen benar. Dia hanya percaya kepada sesuatu yang seratus persen dipercayai sebagai benar, berupa kepercayaan. Tidak usah disebutkanpun, anda pasti tau apa maksud saya. Saya belum mau menyebutkan pada kalimat ini, mungkin nanti di bagian lain dari tulisan yang lain.
Di sekeliling saya pada saat ini ada keluarga saya, ada masyarakat, ada pemerintahan yang sedang mengatur masyarakat-masyarakat ini. Sungguh menggelikan hati menyaksikan bagaimana setiap rumah tangga dan setiap gerombolan di dalam tiap-tiap masyarakat sendiri sekalipun, selalu mengatakan bahwa mereka adalah yang paling bisa mengatur bagaimana sebaiknya interaksi yang seharusnya berada di antara masyarakat yang ada.
Kemudian sekali pemerintahan-pemerintahan lain di seluruh dunia juga mengatakan yang sama seperti demikian.
Pemerintah diberi kekuasaan oleh masyarakan untuk mengatur apa yang baik untuk mereka, tetapi setelah berjalan beberapa saat, datang bantahan dari masyarakat sendiri yang mengatakan apakah benar pemerintah memang benar-benar becus dalam mengatur, bukankah seharusnya begini dan juga begitu?? Maka bertengkarlah pendapat-pendapat yang berkeliaran di udara, di mana-mana, di sini dan di situ sampai masayakat lupa: mana ujung dan mana pangkal.
Sibuk bertengkar dan tidak ingat bahwa hidup itu perlu bekerja dan berproduksi.
Yang ingin menonjolkan mental mengatakan bahwa mental yang tidak baik, mana mungkin bisa menjalankan kehidupan yang baik??
Iya itulah sebabnya maka beberapa manusia “pintar” mendapatkan cara ingin mengatur manusia-manusia lain agar bisa lebih tertib dalam hidup bersama di dunia ini. Ada yang menyebut cara pengaturan itu secara fisik manusia dan ada yang ingin mengaturnya dengan cara akal budi serta ada yang melalui mental. Tiga hal ini berbenturan tidak kurang serunya, ada kerancuan antara akal budi dengan mental dan fisikpun menyatakan bahw dia tidak kalah penting. Yang paling beruntung tentunya adalah orang yang mampu dan bisa mengendalikan ketiga unsur ini dengan seimbang. Ada berapakah manusia di dunia ini yang mampu membuat dirinya seperti itu?? Ada yang menyebut mungkin Nero, atau Pharao, Sulaeman, Muhammad serta Jesus lalu selanjutnya ada Alexander yang Agung, Khu Bilai Khan, Romo Mangun, Mahatma Gandhi? Saya tidak bisa menghitung, banyak sekali, tetapi dibanding dengan jumlah manusia, saat ini saja, yang sekitar enam miliar jumlahnya, jumlah manusia yang seimbang itu hanya sedikit.
Apalagi bila kita amati sudah lama sekali tidak timbul Nabi baru. Orang Muslimpun hanya percaya bahwa Nabi orang Muslim, Mohammad SAW, adalah Nabi yang terakhir dan ditegaskan pula bahwa tidak ada Nabi lain lagi setelah beliau, yang bisa diakui oleh orang Muslim. Manusia yang telah dinobatkan menjadi Nabi-Nabi itu dipercayai oleh ummatnya atau oleh yang bukan ummatnya, sebagai orang-orang yang lebih dari manusia biasa, tidak biasa bahkan ada yang membuatnya menjadi luar biasa sekali.
Saya yang hidup di dalam tahun 2010 tidak bisa mengetaui apakah benar seorang Nabi itu seperti apa yang telah pernah digambarkan oleh orang-orang yang percaya dan oleh cerita-cerita verbal serta tertulis yang ada selama ini.
Saya harus bersikap bagaimana menghadapi kepercayaan yang berlebihan dan berpotensi membuat manusia bertengkar??
Saya ambil sikap tegas sebagai satu-satunya jalan bagi saya, adalah menghindari bergaul yang berpotensi akan menimbulkan konflik, yang biasanya terbukti kemudian sama sekali tidak perlu. Bukankah boleh dibilang siapapun yang pernah saya temui di dunia selama ini, tidak ada satu manusiapun yang telah pernah bisa dekat mengamati manusia yang diberi gelar Nabi, manusia yang dianggap istimewa dan oleh karena itulah sebabnya mengapa dia telah mendapatkan sebutan dan gelar seperti itu?
Apabila saya atau anda ingin berbuat meniru mereka, pastilah bentuk dan akibat dari tata cara menirukan akan terlihat tidak bisa sama dengan yang ditiru. Yang begini adalah normal dan amat biasa terjadi. Di dalam pelajaran ilmu manajemen, ada sebuah program atau cara yang menggunakan sebuah simulasi yang amat digemari oleh para penyelenggara dan pesertanya, seperti berikut ini: Sejumlah hadirin menjadi pelaku A, B, C, D dan seterusnya sampai misalnya saja M. Penyelenggara membisikkan sebuah kalimat, yang diwajibkan diteruskan, dengan cara berbisik juga, kepada B, C, D, E dan F sampai M. Ketika selesai L berbisik kepada M, maka penyelenggara meminta M agar mengulangi apa yang didengarnya dari L, dengan suara keras!! Selesai M berkata-kata menceritakan kembali apa-apa yang telah didengarnya, biasanya semua menjadi tertawa dan masih merasa geli karena tidak sama dengan apa yang didengar, baik oleh si A, B, C, D, E dan seterusnya sampai oleh L sekalipun. Anda bisa bayangkan kalau misalnya si A hidup di abad ke satu, dan B di abad ke dua dan seterusnya dan M yang hidup di abad yang sekarang.
Apa bunyi yang sebenarnya didengar oleh si A yang hidup di Abad Satu??
Sekarang kita harus memenuhi apa yang disebut sebagai keinginan tau dari masing-masing manusia yang hidup di abad di mana tahun 2010 berada.
Apa yang kita tau itu semua didapat dari belajar, belajar ilmu yang disebut ilmu pengetauan. Belajar dengan niat atau tidak dengan niat. Yang tidak dengan niat, hal itu disebabkan oleh karena adanya hal berupa kejadian yang melintas tanpa kemauan sipemilik dari ingatan itu. Misalnya yang berikut ini: Anda melihat delapan kendaraan berwarna merah melaju berturut dalam jarak waktu yang acak. Tanpa anda sadari semua memori mengenai kendaraan itu tercatat di dalam ingatan anda, mau atau tidak mau. Besaran dari ingatannya bisa berbeda sesuai kemampuannya, yang ditentukan oleh umurnya masing-masing. Yang berasal dari tidak ada niat inilah, yang nantinya akan bisa saja muncul kembali tanpa kita perintah dan tanpa kita sadari sepenuhnya, pada suatu waktu kemudian bila diperlukan. Semua pengetauan ini telah didapat dari kondisi yang menggunakan niat maupun tanpa niat, telah dan akan menjadikan manusia untuk lebih mengetaui serta bertambahnya kebijakan dalam mengelola kehidupannya.
Itulah sebabnya saya pernah dengan ‘berani’ mengucapkan bahwa saya pasti lebih pandai dan bijak daripada almarhum kakek saya dalam banyak hal, terutama apalagi dibandingkan dengan beliau secara biologis saya ini berumur lebih tua beberapa puluh tahun daripada usia hidup beliau yang hanya sekitar kurang dari 40 tahun. Informasi yang diterima selama masa hidup beliau pasti tidak lebih banyak daripada yang telah saya terima. Saya sungguh mengharap hal ini diterima sebagai fakta bahwa saya bukannya karena ingin menyombongkan diri.
Lagi pula bagi saya untuk apa pula??
Dengan kakek saya saja kita mampu mendapatkan kenyataan yang seperti ini. Lalu apakah Galileo itu bisa lebih pandai dan bijak dari manusia sekarang?? Sudah lama kita bisa mengamati Planet lain secara visual dan secara teori, Galileo pasti tidak pernah akan bisa mendapatkan kesempatan itu. Kita mengamati cell tubuh kita dan bagian yang terkecil sekali setelah atom atau neutron. Hal seperti itu, mungkin tidak terpikirkan oleh manusia umumnya pada seratus lima puluh tahun yang lalu.
Kembali ke Stephen Hawking, beberapa waktu yang lalu dia juga memberi peringatan kepada dunia, bahwa sebaiknya segera mencari tempat domisili lain di luar Planet Bumi, karena meneruskan pola hidup manusia seperti kita yang sekarang ini sedang berlangsung, menggunakan tata cara sekarang ini, maka ada kemungkinan besar Planet Bumi akan rusak porak poranda dalam dua abad mendatang. Saya kira tidak ada jeleknya kita waspada dan belajar lebih tekun menghadapi kemungkinan yang kurang nyaman seperti itu.
Benarkah kita nanti akan mengalami apa yang dikhawatirkan oleh Sir Stephen Hawking ini? Kalau benar apakah kurun waktu itu adalah Hari Kiamat yang dipercayai oleh banyak orang? Saat ini saya tidak bisa menanggapi apa-apapun terhadap prediksinya. Yang jelas saya tidak akan mengalaminya. Anda para pembaca, juga tidak akan mengalami. Bahkan semua manusia yang sekarang ini hidup di dunia, tidak akan mengalami juga. Tetapi siapakah Sir Stephen Hawking itu sebenarnya? Apa memang dia itu sudah patut digugu dan ditiru seperti guru?? Dia manusia biasa, seperti layaknya manusia pada umumnya, manusia itu amat amat rentan terhadap kesalahan. No man can do no wrong, itu tidak akan saya tentang karena memang manusia itu amat bisa bersalah, sepintar apapun dia.
Saya hanya bisa mengajak anda para pembaca agar bisa secara harmoni melangsungkan kehidupan masing-masing, betapa beragamnyapun bentuk kehidupan yang ada, berdamailah dengan sekeliling anda. Janganlah hanya karena sebuah masalah yang kecil, membuat anda bisa menjadi marah yang berlebihan, lalu membuat perbedaan pandangan menjadi permusuhan dan perkelahian serta peperangan. Itu sikap negatif dan merusak diri anda sendiri serta keturunan anda seluruhnya. Hanya karena marah, anak cucu ikut menderita. Janganlah anda mengumbar amarah.
Yang pemarah pada umumnya adalah mereka yang kurang mampu mengkomunikasikan kemauannya, baik dalam bentuk komunikasi verbalnya maupun tertulisnya. Karena itu kembangkanlah bakat anda untuk bisa berkata-kata dan menulis dengan cara yang intelektual, ramah dan manis bergaul. Menurut pengalaman saya, tersenyum kepada orang yang kurang baik ingatannya saja, tidak merugikan. Segarang apapun tampang yang terpampang di mukanya, orang itu semestinya bisa tersenyum simpul, kecuali dia itu telah terserang syarafnya dan terkendala oleh akibat penyakit dan terkena kondisi stroke.
Senyum dan pergaulan yang manis bisa membatalkan pertengkaran.
Hidup akan berakhir dan mati?
Biarlah mati datang dan tidak usah dilawan. Mati adalah bentuk perubahan manusia yang paling akhir. Bukankah kita tidak akan menetang perubahan?? Perubahan adalah hal yang selalu terjadi dan diluar kendali manusia. Yang selalu tetap itu memang ada. Apa yang selalu tetap itu? Jawabannya adalah PERUBAHAN.
Teringat saya akan sebuah profesi yang disebut Hospice (Hospice - Wikipedia, the free encyclopedia ) atau disebut juga dengan Palliative Care, yang mendalami dan melakukan semua upaya yang mungkin untuk mengantarkan orang yang dipercayai sudah tidak bisa disembuhkan dari penyakit, yang tentu saja tidak lama lagi akan mendatangkan kematian. Berlawanan dengan tugas dokter, profesi ini tidak melawan kematian. Dokter menunda orang agar tidak mati, tetapi professi ini menghantarkan orang yang menuju ke kematian dengan prosedur, metode, cara dan jalan yang lebih nyaman dalam menyambut kedatangan maut.
Anwari Doel Arnowo
Toronto – 07 September, 2010
Friday, September 17, 2010
Wednesday, August 18, 2010
INDOS dan NESOS
Anwari Doel Arnowo
INDOS (ινδός) dan NESOS (νησοσ)
INDOS (ινδός) berarti tanah dalam bahasa Yunani dengan menunjuk ke arah pengertian tanah di India dan NESOS (νησοσ) berarti pulau kecil atau bangsa, juga dalam bahasa Yunani. Itu sudah saya dengar di rumah ayah ibu saya, sejak masih masa kanak-kanak, meskipun waktu itu Republik Indonesia belum lahir. Kata Indonesia adalah kata yang digunakan untuk memakloematkan Proklamasi Kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, yang sampai hari ini belum diakui secara resmi oleh pemerintah belanda. Saya sengaja menuliskan nama negara ini dengan huruf kecil, sebagai protes keras pribadi saya, oleh karena masalah belanda yang belum mau mengakui kedaulatan negara kita, Negara Kesatuan Repoeblik Indonesia .
Apakah sebenarnya keberatan belanda untuk mengakuinya?
Pihak belanda hanya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember, 1949 pada waktu peristiwa Penyerahan Kedaulatan sebagai akibat Konferensi Meja Boendar di Den Haag. Apabila belanda mengakui bahwa pada tanggal 17 Agustus, 1945 itu sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia, maka secara otomatis belanda akan menjadi agressor per tanggal 17 Agustus, 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949 itu. Kurun waktu ini selalu dianggap oleh pemerintah belanda, oleh karenanya periode itu dinamakan oleh belanda, dengan menggunakan istilah Aksi Polisionil. Dengan sebutan seperti itu, maka Soekarno-Hatta dan jajaran serta bawahannya, semuanya adalah teroris dan bandit-bandit pengacau keamanan dalam masa itu. Saya tidak bisa menerima anggapan seperti itu, dan itu bukan hanya berupa anggapan saya atau khayalan tetapi sesungguh-sungguhnya menjadi sejarah hitam diplomasi pemerintah belanda. Saya tidak pernah peduli dengan anggapan orang Indonesia yang lain yang mau saja menuruti kemauan tidak wajar pemerintah belanda ini, dan menganggap pengakuan belanda tidak penting karena kita toh telah diakui banyak sekali oleh negara-negara lain. Bagi saya ini tidak cukup! Kerajaan belanda adalah penjajah bangsa asing terakhir yang meninggalkan Indonesia dan telah menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember, 1949, sebagai hasil desakan PBB dan pemerintah Amerika Serikat. Yang ditakuti belanda adalah pengakuannya akan membawa akibat adanya keharusan membayar Pampasan Perang kepada Indonesia . Saya sendiri merasa kurang perhatian kepada soal uang Pampasan, tetapi adalah JAUH LEBIH PENTING justru pengakuan dan permintaan maaf atas kelakuan-kelakuannya selama 350 tahun bercokol di wilayah kita, Nusantara. Saya juga pernah menjadi peserta demonstrasi yang dilangsungkan didepan Kedutaan Besar belanda di Jalan Rasuna Said, Jakarta Pusat, pada 14 Agustus, 2008, dua tahun yang lalu. (Photo terlampir). Waktu itu ikut serta juga beberapa orang dari sekitar 400 korban pembantaian yang masih hidup oleh tentara belanda yang biadab di desa Rawa Gedeh di dekat Karawang.
Andapun jangan menganggap bahwa Proklamasi yang dilakukan oleh Wakil-Wakil Bangsa Indondesia, Soekarno dan Hatta adalah proklamasi untuk kemerdekaan Repoeblik Indonesia . Bapak-bapak bangsa kita Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta telah memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia saja, BUKAN Repoeblik Indonesia . Kata Repoeblik baru berkumandang pada esok harinya, waktu Undang Undang Repoeblik Indonesia diumumkan dan mulai diundangkan secara resmi pada tanggal 18 Agustus, 1945.
Menjadi ganjalan hati saya yang lain, dan terasa berat sekali adalah: Gelar Pahlawan Nasional seingat saya belum pernah diberikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Gelar Pahlawan Proklamator, saya menganggap ada kerancuan kata, oleh karena kata Proklamator itu tidak bisa ditelusuri dari mana asal usul kata yang disandangkannya. Di dalam bahasa Inggris dan belanda memang ada kata proclamation (kata asalnya: to proclaim) dan proklamatie. Tetapi kedua kata yang asalnya dari dua bahasa yang amat mendominasi banyak sekali kata-kata asal yang ada di dalam Bahasa Indonesia, di dalam kedua-dua bahasa itu, tidak ada yang bisa dikenali dengan sebutan kata Proklamator. Bentukan kata ini tidak mungkin bisa disamakan dengan bentukan kata agresi dan agresor, apalagi kata terminasi dan kata terminator.
SUNGUH DISAYANGKAN UNTUK HAL YANG SEPENTING SEPERTI HAL INI, PARA AHLI BAHASA KITA, SETAU SAYA BELUM ADA YANG MEMBAHASNYA SEHINGGA TUNTAS, AGAR DAPAT DISEBAR-LUASKAN / DIMAKLUMATKAN SECARA MERATA KEPADA UMUM.
Tidak dapat kita duga apa yang akan TIMBUL di dalam pikiran para perintis dan para pendiri Negara Indonesia , apabila beliau-beliau itu masih hidup pada saat ini. Tentu akan banyak yang akan mengeluarkan pendapat bahwa hal seperti itu tidak ada relevansinya yang patut, apabila dibicarakan saat sekarang. Banyak yang akan mengemukakan pendapat bahwa yang dahulu itu ya memang sudah berlalu, tidak perlu dibawa-bawa terlalu mengemuka.
Dahulu dalam suasana penjajahan, MUSUH KITA HANYA PENJAJAH, dan sekarang suasananya sama sekali telah amat berbeda, suasana kemerdekaan berdemokrasi penuh dan keterbukaan yang serba transparan. MUSUH UTAMANYA BUKAN BERUPA MANUSIA ATAU IDEOLOGI, AKAN TETAPI BISA BERUPA KEBODOHAN, KETERBELAKANGAN, KORUPSI DAN KEJAHATAN POLITIK SERTA JUGA KEJAHATAN SOSIAL.
Benarkah demikian itu halnya?
Sayangnya di antara kita banyak yang kurang memahami bagaimana mengawal dan mengisi kemerdekaan itu. Mengisi kemerdekaan itu bukannya malah lebih mudah dari upaya berjuang untuk mendapakan status kemerdekaan nasional. Kemerdekaan itu persis sama seperti udara yang kita hirup dan gunakan untuk pernapasan. Selalu ada dan selalu gratis. Kita biasa tidak menghargainya karena sudah punya kemampuan untuk, dan bisa, bernafas. Tetapi kalau udara itu menipis dan menipis serta kemudian habis, barulah harga atau nilainya menjadi berbanding terbalik. Menjadi amat amat tinggi nilainya, yang tidak akan tergantikan dan terbayar dengan uang atau apapun jua.
Pendapat saya sendiri mengenai masalah ini justru adalah: masih perlu sekali kita menengok-nengok ke arah belakang, ke masa lalu dan justru secara berkala lebih sering, dalam upaya untuk bisa membandingkan dengan tata kelola menghadapi banyaknya problema yang ada di masa kini. Banyaknya pendapat yang saling bertentangan karena anutan model demokrasinya, justru menjadi seiring dengan timbulnya perbedaan yang tidak perlu karena timbulnya argumen yang terasa dungu, menghabiskan waktu Sang Majikan yang terlupakan, yaitu rakyat jelata, yang berakibat langsung mengganggu sistem produksi nasional. Produksi nasional rakyat dalam berkarya, untuk menjalani kehidupan nyata yang setiap saat harus digelutinya, secara terus menerus dan berkesinambungan amat sering diganggu oleh apa yang dikenal dengan istilah yang selalu menggunakan kata-kata “proses demokrasi”. Demokrasi itu sendiri bukanlah sistem yang terbaik di dunia saat ini maupun mungkin di saat mendatang. Itu adalah sebagian dari kata-kata yang dikeluarkan oleh almarhun Perdana Menteri Kerajaan Inggris, Sir Winston Churchill yang mengatakan: It has been said that democracy is the worst form of government except all the others that have been tried.
Demokrasi masih membutuhkan kelompok pemimpin yang mengerti bagaimana mengelola Negara dengan menggunakan pemerintahannya agar bisa mangkus. Kelompok ini bisa menyampaikan pesan-pesan bagaimana kehidupan berbangsa itu selayaknya dilakukan, dan semua itu dengan menunjukkan kepada pihak-pihak yang sebangsa ini, agar supaya bersikap bersatu padu.
Persatuan inilah yang sekarang menjadi masalah nasional kita.
Kita harus mencontoh kepada pernah adanya persatuan para pemoeda Jong Ambon , Jong Java, Jong Celebes dan Jong-Jong yang lain yang telah berhasil memelopori Soempah Pemoeda pada tahun 1927.
Bermodalkan persatuan itulah maka 18 tahun kemudian bangsa ini berhasil membentuk Negara Repoeblik Indonesia .
Ketua atau kepala atau pemimpin yang duduk di atas pemerintahan sekarang itu, tidak cukup hanya cakap, pandai, pintar dan jujur serta bijaksana. Masih perlu banyak lagi, antara lain sikap sigap dan cekatan, licik seperti belut dalam arti positip dan tegas serta tidak bertele-tele atau malah mengulur-ulur waktu saja. Dia tidak perlu sederhana dan berjalan kaki saja ke kantor tempat dia itu bekerja. Dia tentu boleh naik mobil yang sekadar pantas saja sebagai Kepala Pemerintahan, sama sekali tidak perlu bermewah-mewah, kecuali kendaraannya buatan Indonesia 100%. Dia juga tidak perlu tinggal di sebuah rumah yang sederhana, karena Negara telah menyediakan sebuah Istana yang patut dibanggakan. Tetapi hanya Istana sajalah yang dibiayai oleh Anggaran Belanja Negara melalui pemerintahan, bukan rumah pribadinya. Dia tidak patut masih memberi beban kepada dirinya, apabila anaknya sudah tumbuh melampaui masa dewasanya.
Gangguan demokrasi ini tertumpah di dalam benturan-benturan kepentingan individu yang biasanya disebabkan pandangan horizonnya yang sempit, karena menyangkut kurun waktu dalam memandangnya yang tidak memiliki kemampuan memandang lebih jauh ke arah depan.
Demokrasi mungkin sesuai hanya apabila diterapkan di tempat-tempat yang tepat, di mana sebagian besar rakyatnya sudah amat terpelajar dan mempunyai disiplin yang baik. Dua hal ini bisa dipakai untuk menjunjung demokrasi. Kita boleh berbangga dengan rakyat Negara Indonesia ini yang dicatat telah menjadi hanya 8% saja dari jumlah penduduknya yang masih buta huruf. Terlepas dari benar atau tidaknya jumlah angka tersebut, kita juga perlu meneliti dan jangan lupa menyelidiki dengan lebih mendalam, apa yang mereka baca sehari-harinya, apa yang bisa mereka baca dan dari sumber yang bagaimana? Kalau mereka diberi bacaan yang tepat tentu mereka akan bisa untuk melakukan langkah yang amat penting berikutnya: berdisiplin.
Apabila bacaan disajikan oleh sumber-sumber pemerintah yang membiarkan berita politik yang amat berbau kurang sedap pada hampir setiap hari dan setiap saat, maka apakah otak para pembacanya bisa meresapkan tata cara berpikir sehat?? Bacaan kita itu tersedia, berkat antara lain, karena ditulis oleh mereka yang memiliki beban-beban komersial. Perilaku penulisan dan penulisnya adalah kaum yang dikuasai oleh banyak ligkaran dan lingkungan komersial yang amat kuat. Lingkungan ini tentu saja, sukar bisa dihindari oleh karena juga selalu dan sedang dikuasai oleh para pemodal besar. Para pemodal besar inipun juga biasanya dirangkap atau bergabung dengan para pelaku politik ketata-negaraan dan bercampur-aduk dengan para pengusaha. Sudah umum bagi para pengusaha, amat sulit untuk tidak tergoda agar menghindarkan diri dari ikut campur tangan, dengan upaya berperilaku sejalan dengan politikus. Perilaku-perilaku seperti ini dibaca oleh rakyat dari media yang diterbitkan oleh pelaku-pelaku media yang tidak asli, tetapi mereka yang sudah ditimpa dengan beban komersialisasi tadi. Wartawan yang bebas dari beban ini, amat sedikit sekali jumlahnya. Politikus yang hanya berpolitik saja, juga tinggal sedikit. Pejabat yang murni ahli di dalam bidang yang dikuasainya juga tidak banyak.
Yang terlalu banyak adalah yang tidak ahli di bidangnya atau terlalu banyak malah yang tidak ahli, bekerja di bidang yang malah sama sekali asing baginya. Contoh mudah sekali didapat dan digambarkan oleh kesalahan yang masih kita ulang-ulang: membiarkan militer dan ulama ikut campur di dalam tata kelola pemerintahan. Jenderal bukannya tidak bisa menjadi seorang Duta Besar, akan tetapi tidak banyak Jenderal yang patut disebut memenuhi syarat untuk bisa menduduki dan mengelola jabatan itu.
Ulama dari agama apapun sama sekali tidak sesuai untuk ikut duduk di dalam pemerintahan. Agama adalah urusan masing-masing pribadi manusia Indonesia dan yang ada di seluruh dunia. Ini tidak bertentangan dengan azas bernegara yang berlaku di Indonesia . Mereka itu akan sama halnya dengan Insinyur yang didudukkan di dalam sebuah Badan Usaha Milik Negara yang berkonsentrasi di dalam bidang Perumahan Rakyat. Padahal dia itu adalah misalnya saja, seorang insinyur bidang yang bukan Ilmu Konstruksi Sipil atau Arsitektur atau yang mengerti manajemen pembangunan perumahan. Atau sekarang yang sudah mewabah dan seperti berlaku sebagai sebuah dalil: bahwa seorang Dokter “akan selalu bisa” mengelola sebuah Rumah Sakit. Tidak pernah dipikirkan dengan sehat oleh Menteri Kesehatan bahkan juga oleh Kabinet, bahwa jabatan Kepala atau Direktur Rumah Sakit itu tidak selalu harus seorang Dokter, yang jelas-jelas tidak ahli dalam hal teknis seperti pembangkitan tenaga listrik dan cara-cara pengelolaannya secara bidang yang mengelola ekonomi usaha sebuah Rumah Sakit. Manajemen dalam penyediaan dan pengelolaan makanan sehat bagi pasien disertai dengan masalah kebersihan mencuci bahan-bahan kain untuk keperluan kesehatan: alas tidur, handuk dan baju perawat dan paramedik.
Pernah pula dipegang pendapat bahwa Departemen Pertahanan hanya bisa dipimpin oleh seorang Jenderal Angkatan Darat, padahal Negara Indonesia ini adalah Negara Kepulauan dan memiliki jumlah pulau yang paling banyak sekali apabila dibandingkan dengan negara yang manapun jua. Panjang pantai Negara Indonesia (54.000 KM) terpanjang nomor dua setelah Kanada (202.000 KM), tetapi pantai Kanada hanya bisa dikunjungi tidak pada setiap saat, siang dan malam dan tentu saja tidak sepanjang tahun. Bandingkan panjang garis keliling dari equator atau khatulistiwa yang hanya sekitar 42.000 Kilo Meter. Pantai Kanada terbuka hanya beberapa bulan saja di dalam setahun dan banyak saatnya selalu tertutup oleh es dan salju. Batas zona ekonomi Indonesia malah mungkin sekali berada di sekitar angka yang 90.000 Kilo Meter dan sudah diakui oleh dunia hukum Internasional termasuk PBB. Jumlah luas seluruh laut-laut kita itu sudah menjadi enam puluh kali lipat lebih luas apabila dibandingkan dengan luas laut kita pada waktu diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia , pada tahun 1945. Angkatan Laut kita yang lemah itu seperti saat sekarang ini, amat membutuhkan serta merindukan pemimpin yang berwawasan bahari, mengembalikan harga diri kebangsaan kita seperti telah dibuktikan oleh Kakek Moyang kita yang pelaut sejak dahulu kala. Bidang-bidang usaha di dalam dunia bahari akan membuat banyak sekali lapangan kerja baru. Bisa saja akan ada berjuta-juta Petani Laut, ada jutaan juga Ahli Pertambangan di Laut. Ada ahli Tenaga Listrik yang dihasilkan dari unsur-unsur di laut, seperti sinar surya, ombak dan angin serta biota-biotanya.
Janganlah anak cucu kita hanya kita didik dan hanya mengetaui hal kekayaan materi, hanya berupa pemilikan tanah bersertifikat saja disertai perhiasan dan emas berlian. Kekayaan mereka yang berguna bagi diri mereka adalah kekayaan ilmu di dalam sanubarinya di dalam otaknya, di dalam tenaga tubuhnya yang sehat. Dari situlah rakyat dan bangsa Indonesia akan bisa diajak berproduksi, menghidupi dirinya sendiri dengan nafkah halal dari bekerja keras. Kegiatan mereka ini akan menghasilkan pajak untuk memelihara kondisi rakyat, yang bisa menerima harapan hidup sehat berkelanjutan secara keseluruhan. Mereka tidak memerlukan partai politik karena justru sesungguhnya adalah yang sebaliknya, yang seharusnya terjadi. Itulah pula mengapa kita bangsa Indonesia perlu sekali bersatu padu dan menyingsingkan lengan bajunya untuk bekerja keras. Pekerjaan berpolitik serahkan saja kepada para pegawai dari Rakyat Indonesia , yang telah membayar gajinya dan kehidupannya. Para pegawai ini, pejabat yang paling tinggi sampai yang paling rendah di tingkat Kelurahan adalah orang gajian Sang Majikan, yakni Rakyat Jelata, orang-orang Indonesia biasa.
Jangan membela bangsa lain karena kesamaan ideologi dan agamanya yang pada kenyataanya tidak bisa menyelesaikan persoalan dalam negerinya sendiri dalam menghadapi musuhnya, yang sama sekali bukan musuh bersamanya Indonesia . Mereka telah berpuluh tahun tidak mampu menyelesaikannya. Kitapun tidak akan bisa dan mampu juga. Mereka bertengkar karena masalah kenegaraan dan masalah materi: pemilikan tanah, BUKAN agama. Jadi sebaiknya Indonesia melepaskan diri dari masalah seperti ini dan berkonsentrasi dengan masalah nasional yang lebih penting dan sudah menumpuk-numpuk tanpa diurus. Jangan berideologi yang datang dari luar negeri terlalu fanatik, komunisme ataupun kapitalisme sekalipun. Hampir semua ideologi dan pemahaman spiritual yang datang dari luar negeri telah pernah berebutan ingin ikut memerintah di dalam negeri kita, dan tidak ada satupun yang berhasil. Hal ini telah mengakibatkan terbuktinya kegagalan ideologi dan pemahaman spiritual itu yang menimbulkan gambaran dari keadaan negara kita yang terbelakang sekali saat ini.
Negara-negara Jerman dan Jepang setelah kalah perang dalam Perang Dunia Kedua, menjadi negara dan bangsa yang merdeka, hampir bersamaan waktunya dengan Repoeblik Indonesia . Kedua negara itu menjadi lemah dalam berpolitik, terlihat seperti membebek saja kepada Amerika Serikat. Tetapi kedua negara itu telah tegak dan bangun menjadi dua negara yang amat kuat kondisi ekonominya sehingga memakmurkan kehidupan kebangsaannya.
Marilah kita kembali ke tata budaya sederhana: Gorong Royong, saling asah dan saling asuh di antara kita bangsa Indonesia .
Perbaikan-perbaikan lingkungan hidup seperti ini akan membantu kita untuk menyingkirkan benalu-benalu yang menggunakan politik dan agama untuk menaikkan “harga” mereka di bidang yang dipakai ikut meracuni hidup rakyat kebanyakan dengan ideologi-ideologi usang yang merugikan bangsa Indonesia.
Janganlah seperti halnya sebuah tim pemain sepak bola yang sebelas orang saja. Indonesia yang memiliki penduduk berjumlah sebanyak lebih dari 242 juta jiwa, tidak mampu mencari bibit sebelas orang saja yang mampu bermain bola dengan cantik. DEMIKIAN PULA HALNYA, TIDAK ADAKAH SEORANG YANG BISA MEMENUHI SYARAT UNTUK MAMPU MENJADI PEMIMPIN NEGARA seperti disebutkan di atas ??
Atau memang sudah puas diri sampai menjadi pimpinan saja, bukan pemimpin??
Anwari Doel Arnowo
Tuesday, July 27, 2010
Ini tulisan yang patut kita cermati.
Di bagian bawah ada tanggapan saya
Anwari 27/07/2010
Toronto - 27 Juli, 2010
Di bagian bawah ada tanggapan saya
Anwari 27/07/2010
Encouragement
by Rhenald Kasali
Thursday, 15 July 2010
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus
sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada
saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji.Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?"
"Dari Indonesia," jawab saya.
by Rhenald Kasali
Thursday, 15 July 2010
sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus
sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada
saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji.
"Dari Indonesia," jawab saya.
Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dariIndonesia yang
anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!"
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya.
Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat.
"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari
anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum,
melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!"
Dia pun melanjutkan argumentasinya.
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk
anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-
benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong,
malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak disana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif
dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk
anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-
benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan
kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong,
malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak di
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif
dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah
bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
| show details 1:41 PM (27 minutes ago) | |
Teman-teman sekalian,
Saya senang ada yang mau menulis seperti ini. Namanya saja sudah menjamin mutu tulisan.
Saya ingin ada pemuka agama, agama yang mana saja, juga menerapkan seperti apa yang tersirat dari tulisan Pak Rhenald Kasali ini. Mengapa agama?
Mendidik ilmu pengetauan harus sejajar dengan mendidik masalah agama. Cerita dan dongeng dalam agama manapun, dari tahun ke tahun berikutnya, agak bertambah sukar untuk bisa ikut diterapkan dalam upaya penyesuaiannya dengan kemajuan pendidikan modern, dengan kemajuan logika dan dengan kemajuan jaman di bidang hukum. Terasa sulit menerangkan apa yang didapat oleh para cucu saya yang mendapatkan pendidikan agama melalui sekolah-sekolah mereka saat ini. Saya jarang sekali menjawab pertanyaan mereka karena akan terjadi konflik dengan yang mereka terima dari guru-guru agama mereka. Kasihanilah para anak cucu kita yang harus menelan pelajaran yang isinya mengancam-ancam mengenai surga dan neraka, juga mengenai konflik dengan Israel, yang sama sekali bukan urusan Negara RI.
Silakan menilai sendiri cerita agama yang mana dan dengan pendidikan, logika serta hukum yang mana, karena saya tidak akan menuliskannya, demi untuk menghindari timbulnya polemik yang tidak menentu dari orang-orang yang kurang mau berubah dengan kemajuan jaman.
Indonesia dalam banyak bidang berjalan ditempat, itu masih lumayan. Ada yang mundur padahal yang lain maju. Kita boleh membawa ingatan kita di dalam sebuah surat untuk para pemuda apa yang dikatakan sdr. Anies Baswedan yang telah menyatakan bahwa setelah 65 tahun merdeka maka jumlah persentase penduduk yang buta huruf menurun dari 80% telah menjadi 8%. Kalau ini memang benar angkanya saya ikut bergembira. Masih banyak hal lain yang dia kemukakan mengenai kemajuan Negara RI, tetapi pada kenyataannya GDP per Capita Income hanya kurang dari 4000 US $. Bandingkan dengan negara- tetangga, kita kalah. Bila dengan Kanada mungkin hanya sepersepuluh. Itu berarti banyak dana yang menyeleweng ke tempat-tempat yang tidak semestinya, karena penghasilan Negara sebenarnya bukan kecil sekali. Itu berarti pendidikan moral dan agama serta sopan santun bermasyarakat boleh dibilang omong kosong belaka.
Dinyatakan nol besar nanti orang marah. Hampir semua orang beragama sembahyang dan terlihat tekun. Tetapi hampir di setiap kantor pemerintah, termasuk bidang pendidikan, korupsinya amat tinggi. Ini menunjukkan moral rendah sekali, berada dibawah standar. Pembangunan gedung sekolah hampir SEMUANYA meunjukkan ada korupsinya. Juga rumah-rumah ibadah. Itulah mengapa teman saya yang sudah amat senior, berusia 80 tahun,
pernah mengatakan bahwa karena kita pada saat sekarang ini, amat banyak yang menyembah agama daripada menyembah Tuhan. Habis apel upacara bendera ada sumpah Pegawai Negeri yang diucapkan tidak akan menerima imbalan berupa apapun, langsung kembali ke meja kerjanya, seketika melaksanakan perbuatan korupsi. Hal ini janganlah terlalu lekas dibantah, nanti akan lelah karenanya.
Kita selalu menyatakan diri religius.
Kita tidak mengawasi negara lain yang sama sekali tidak peduli agama, banyak yang atheis dan malah tidak peduli tata cara agama apapun. China yang seperti itu, menghukum mati ribuan mereka yang korupsi. Siapa yang dihukum mati di Indonesia karena korupsi? Kalau memang ada, maafkan saya kalau saya memang tidak ingat. Tetapi negara-negara yang tidak memasukkan agama kedalam kegiatan pemerintahan ini telah menjadi makmur, padahal tidak mempunyai sumberdaya alam seperti halnya dengan negara kita.
Ayo kita berdialog dengan diri sendiri dan mencari jawabnya. Dengan satu jawaban atau banyak jawaban, kita pasti bisa menggunakannya untuk ikut membawa perubahan yang baik bagi Nusa dan Bangsa Indonesia .
Salam saya
Anwari Doel Arnowo
Monday, July 26, 2010
SYNOPSIS PERUBAHAN
Saya menerima sebuah email hari ini dan ini adalah pendapat saya:
Synopsis ini tidak dapat diterapkan menggunakan dimensi waktu yang pendek. Perlu waktu yang panjang dan berkelanjutan. Ada masa-masanya untuk masing-masing perihal yang disebutkan sejak nomor 1. (satu) sampai dengan nomor 9. (sembilan).
Lalu bagaimana kita bersikap terhadap usikan yang terasa menyengat pada kenyamanan kita dalam menjalankan hidup selanjutnya?
Ada sebuah kata yang saya anggap sesuai, yaitu adapt yang artinya: membiasakan atau menyesuaikan diri.
Menurut pengamatan kita para senior yang mau menerima kenyataan ini, adaptasi itu amat mudah dilakukan justru oleh kanak-kanak dibandingkan oleh orang yang sudah lanjut usia seperti kita. Perhatikan di sekitar kita dan akuilah kalau anda merasakan mau merasakan kebenaran yang sejati. Bilamana anda masih keras menentangnya, itu bisa berarti anda telah menempati kenyamanan dan berhenti ber-meta-morphosis padahal sudah menua dan tidak mau menyesuaikan diri dengan perubahan. Itu adalah hak anda dan silakan menerima apapun akibatnya. Apabila terasa kurang atau malah tidak nyaman dalam menghadapinya, cepatlah mencoba menyesuaikan diri anda agar seirama dengan amplitudo perubahan.
Bacalah dan resapkan yang berikut ini:
Very interesting synopsis of how society is changing and the domino effect.
1. The Post Office. Get ready to imagine a world without the post office. They are so deeply in financial trouble that there is probably no way to sustain it long term. Email, Fed Ex, and UPS have just about wiped out the minimum revenue needed to keep the post office alive. Most of your mail every day is junk mail and bills.
2. The Check. Great Britain is already laying the groundwork to do away with checks by 2018. It costs the financial system billions of dollars a year to process checks. Plastic cards and online transactions will lead to the eventual demise of the check. This plays right into the death of the post office. If you never paid your bills by mail and never received them by mail, the post office would absolutely go out of business.
3. The Newspaper. The younger generation simply doesn't read the newspaper. They certainly don't subscribe to a daily delivered print edition. That may go the way of the milkman and the laundry man. As for reading the paper online, get ready to pay for it. The rise in mobile Internet devices and e-readers has caused all the newspaper and magazine publishers to form an alliance. They have met with Apple, Amazon, and the major cell phone companies to develop a model for paid subscription services.
4. The Book. You say you will never give up the physical book that you hold in your hand and turn the literal pages. I said the same thing about downloading music from iTunes. I wanted my hard copy CD. But I quickly changed my mind when I discovered that I could get albums for half the price without ever leaving home to get the latest music. The same thing is happening with books. You can browse a bookstore online and even read a preview chapter before you buy. And the price is less than half that of a real book. And think of the convenience! Once you start flicking your fingers on the screen instead of the book, you find that you are lost in the story, can't wait to see what happens next, and you forget that you're holding a gadget instead of a book.
5. The Land Line Telephone. Unless you have a large family and make a lot of local calls, you don't need it anymore. Most people keep their and line telephone simply because they're always had it. But you are paying double charges for that extra service. All the cell phone companies will let you call others that use the same cell provider for no charge against your minutes.
6. Music. This is one of the saddest parts of the change story. The music industry is dying a slow death. Not just because of illegal downloading. It's the lack of innovative new music being given a chance to get to the people who would like to hear it. Greed and corruption is the problem. Over 40% of the music purchased today is "catalog items," meaning traditional music that the public is familiar with -- older established artists. This is also true on the live concert circuit. To explore this fascinating and disturbing topic further, check out the book, "Appetite for Self-Destruction" by Steve Knopper, and the video documentary, "Before the Music Dies."
7. Television. Revenues to the networks are down dramatically, and not just because of the economy. People are watching TV programs and movies streamed from their computers. And they're playing games and doing all lots of other things that take up the time that used to be spent watching TV. Prime time shows have degenerated down to lower than the lowest common denominator. Cable rates are skyrocketing and commercials run about every 4 minutes and 30 seconds. I say good riddance to most of it It's time for the cable companies to be put out of our misery. Let the people choose what they want to watch online and through Netflix.
8. The "Things. " That You Own. Many of the very possessions that we used to own are still in our lives, but we may not actually own them in the future. They may simply reside in "the cloud." Today your computer has a hard drive and you store your pictures, music, movies, and documents. Your software is on a CD or DVD, and you can always re-install it if need be. But all of that is changing. Apple, Microsoft, and Google are all finishing up their latest "cloud services." That means that when you turn on a computer, the Internet will be built into the operating system. So, Windows, Google, and the Mac OS will be tied straight into the Internet. If you click an icon, it will open something in the Internet cloud. If you save something, it will be saved to the cloud. And you may pay a monthly subscription fee to the cloud provider.
In this virtual world, you can access your music or your books, or your whatever from any laptop or handheld device. That's the good news. But, will you actually own any of this "stuff" or will it all be able to disappear at any moment in a big "Poof?" Will most of the things in our lives be disposable and whimsical? It makes you want to run to the closet and pull out that photo album, grab a book from the shelf, or open up a CD case and pull out the insert.
9. Privacy. If there ever was a concept that we can look back on nostalgically, it would be privacy. That's gone. It's been gone for a long time anyway. There are cameras on the street, in most of the buildings, and even built into your computer and cell phone. But you can be sure that 24/7 "They" know who you are and where you are, right down to the GPS coordinates, and the Google Street View. If you buy something, your habit is put into a zillion profiles, and your ads will change to reflect those habits. And "They" will try to get you to buy something else. Again and again.
All we will have that can't be changed are the Memories.
Ini adalah bunyi sesaat setelah saya selesai membacanya
Reply
I read this up and down and up again.
Found mostly applicable to my surroundings.
Q: "Are we gaining things or losing things that we loved??"
If all can be adjusted to my growth in mind and body, I do think that I shall manage ... !
Anwari - July 26, 2010
Banyak kejadian yang membuat saya mau dan bersedia setiap saat untuk berubah dan dengan jujur berani mengakui bahwa kita telah salah bersikap dalam kehidupan kita yang telah silam. Kesalahan bersama adalah kesalahan saya juga, biarpun partisipasi kesalahan saya hanya kecil sekalipun.
Ini contoh yang telah terjadi:
A. Di dalam masa pergerakan perubahan kondisi politik dan eonomi saya mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan bagi masyarakat Indonesia dan bagi saya pribadi. Waktu terjadi peristiwa perebutan kekuasaan dari pihak mereka yang pro Bung Karno dengan yang pro Suharto, saya banyak melihat peluang pada periode-periode sesudahnya, untuk bersuara. Bersuara apa? Menyuarakan ke-tidak-setujuan terhadap banyak hal yang telah terbukti kemudian, yang banyak di antaranya adalah pada saat beberapa tahun terakhir ini, tidak patut didiamkan. Apa sebab saya, dan juga banyak orang lain senasib dan seperasaan dengan saya, berbuat seperti itu, diam-diam saja? Saya duga banyak yang seperti saya: takut diperdayakan oleh para yang pro Suharto dalam banyak bidabng bisnis, karir, kehidupan biasa, fitnah dan lain-lain segi kehidupan orang biasa. Saya memang takut kepada banyak hal, yang belum tentu akan terjadi. Oleh karena ayah saya dan keluarganya sudah jelas adalah pro Bung Karno, maka ayah saya dengan terang benderang adalah menjadi ‘musuh” kaum militer terutama Angkatan Darat yang sdang berkuasa. Surat-surat beliau yang dikirim melalui pos tidak bisa sampai tetapi dibaca oleh intelijen Tentara dan ayah saya dipanggil oleh Komandan Korem, dan diberi tau bahwa itu tidak baik. Kalau tidak bersedia berhenti berkirim surat, maka ayah saya akan ditindak “tegas”! Beliau juga mengalami di”copot” paksa dari jabatannya selaku Rektor Universitas Negeri Brawidjaja yang didirikan dengan peluh serta keringatnya dan dengan modal uang yang berjumlah besar dan barang yang memang milik pribadinya. Saya kemudian menjadi pengusaha dari macam-macam komoditi tetapi tetap menjaga diri agar jangan bersentuhan dengan dan tidak bersinggungan dengan kekuasaan pemerintah, yang dikendalikan oleh pihak militer. Juga menjaga agar tidak bersinggungan dengan keluarga Cendana serta para pegawai negeri yang memegang kekuasaan. Menceritakan yang seperti ini saja, saya harus memilih pendengarnya siapa dengan agak teliti.
B. Adalah telah menjadi pengetauan umum di masyarakat luas betapa ‘ganas”nya pihak kapitalis dalam memeras rakyat Indonesia yang miskin. Meskipun banyak yang menjadi pengetauan masyarakat luas banyak kelainan dan kecurangan dalam pemilihan umum, dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan politik, banyak para ahli dan yang malah mempunyai kompetensi, justru diam seribu bahasa. Seperti halnya saya sendiri!! Diam karena memilih selamat. Saya menulispun banyak yang tidak saya berikan kepada siapapun juga untuk dibaca. Baru setelah tahun 1999 saya “agak berani” melakukan yang sebaliknya.
C. Meskipun yang saya tulis di A. dan B. itu menggambarkan bahwa saya menjadi orang yang tidak mau berubah, tetapi demi keselamatan bisnis saya, jiwa dagang saya,sifat melindungi diri sendiri dengan baik, saya memang tidak mau berubah menjadi “Pro Suharto” sampai sekarang.
Saya tidak pernah menyesali sikap saya yang diam itu, karena saya kerjakan dengan menganut keutamaan keselamatan diri. Kalau saya selamat maka bisnis saya akan selamat juga, demikian juga semua karyawan yang bekerja di dalam unit-unit usaha yang saya dirikan. Itu saja alasan saya mengapa saya hanya diam-diam, duduk manis, tidak melanggar Undang-Undang dan tidak berbenturan dengan kekuasaan. Yang penting bagi diri saya adalah saya berusaha dan menciptakan bagi mereka yang tidak mempunyai nafkah dari kegiatan kerja dan menggiatkan ekonomi yang amat lambat berjalan di suatu daerah. Dengan senang hati saya beri taukan bahwa apa yang saya inginkan itu telah terlaksana.
Sejak masa merdeka itulah saya menikmati kebebasan mental, menulis apa saja, semau saya, tidak menggubris terlalu serious opini orang yang bertentangan dengan pendapat saya, karena Negara kita menganut paham sekularisme dan kebebasan menyatakan pendapat.
Saya hidup merdeka dan menikmati segala perubahan sebanyak mungkin. Saya menerima bila tiba masanya untuk menjadi bertentangan pendapat, sepanjang tidak bertengkar secara fisik apalagi menyebabkan terbunuhnya manusia lain karenanya. Sikap sepakat untuk tidak sepakat mengenai sesuatu adalah sikap intelek, mundur untuk penenangan emosi dan maju lagi untuk meneruskan perbedaan juga akan bisa mencerminkan kebesaran jiwa.
Dalam halnya mengurangnya tingkat keperluan pos dan menurunnya penggunaan alat-alat yang telah kita kenal serta meningkatnyapemakaian alat-alat elektronik yang selalu ada pembaruan setiap periode tiga bulanan, saya mengikutinya dengan sesaksama mungkin.
Apa yang pernah dikatakan oleh Pemimpin Besar bangsa Indonesia, Bung Karno, bahwa perubahan yang radikal harus dilakukan dengan mendobrak dan menbongkar serta membangun kembali nilai-nilai luhur bangsa Indonesia kembali setelah menjadi bangsa yang terjajah ratusan tahun lamanya.
Semua itu adalah masalah perubahan.
Bung karno memang tidak sabar dan melakukannya dengan revolusi, tidak mau bekerja sama dengan para penjajah, bangun bersama-sama rakyat yang waktu itu telah lebih dari seratus juta jiwa jumlahnya.
Semoga Indonesia menjadikan rakyatnya seperti cita-cita Bung Karno dan juga cita-cita semua orang Indonesia yang waras, agar bangsa Indonesia mengalami kondisi yang adil dan makmur.
Semoga.
Anwari Doel Arnowo
Thursday, June 3, 2010
TORONTO PANCI SAYUR ASEM
PANCI SAYUR ASEM ITU MAKSUDNYA ISINYA CAMPUR ADUK, TAPI SEDAP DAN NYAMAN RASANYA
Jangan khawatir, semua ada akhirnya! Susah ada akhirnya
Senang dan gembira ada akhirnya. Hidup pun ada akhirnya ...
TORONTO The City
TORONTO Endangered species
TORONTO Bursa Kerja.
Toronto , 2 Juni, 2010
Jangan khawatir, semua ada akhirnya! Susah ada akhirnya
Senang dan gembira ada akhirnya. Hidup pun ada akhirnya ...
Anwari Doel Arnowo – Toronto , Awal Juni, 2010
Anda ingin tau apa dan bagaimana kota Toronto di Kanada?
Paling mudah adalah mengakses website-nya yang resmi di: http://www.toronto.ca/
Saya coba menerangkan yang tidak tercantum lengkap di situ, dan akan menambahkan saja dari pengamatan langsung sehari-harinya. Sebenarnya dengan membaca website itu tergambarlah sudah bagaimana demokrasi BAGUS yang selama ini dilakukan di negeri ini. Pengamatan dan pengawasan oleh masyarakat terhadap tingkah laku dan kinerja para pegawai negerinya amat ketat dilakukan. Pegawai negeri Toronto adalah benar-benar pegawainya rakyat, yang dalam hal ini adalah penduduk kota Toronto secara khusus dan penduduk warga negara Kanada secara umum.
Saya berusaha menulis hal-hal yang sesungguhnya terjadi di sana , di sebuah kota yang dihuni oleh puluhan asal manusia dan asal bangsa dan ras. Di negara kita juga, tetapi hanya saja yang menonjol adalah asal ras dan suku bangsa. Apa saja asal bangsa yang menghuni kota Toronto dan seberapa besar jumlahnya? Ketika saya baca data lima tahun yang lalu, mereka yang datang di Kanada sebagai imigran yang telah disetujui oleh Pemerintah Kanada, jumlahnya mencapai angka 260 ribuan orang dalam setiap tahun berjalan. Separuh dari jumlah ini biasanya mempunyai tujuan ke Toronto dan sekitarnya, di dalam Propinsi Ontario . Toronto dan Ontario adalah pusat kegiatan industri dan dagang yang terbesar di Kanada, sedangkan Ibukota Negaranya adalah Ottawa .
Anda bisa membayangkan ada sekitar150 bahasa yang digunakan oleh mereka, para imigran di Toronto , pada jam-jam di luar jam bekerja dan di rumah-rumah pada malam hari, ketika mereka berkumpul dalam lingkungan asal sesamanya. Mereka ini, ayah, ibu dan anak-anak berbahasa Inggris atau Prancis di tempatnya bekerja dan belajar, pada pagi dan siang hari. Oleh karena pemerintah Kanada amat memerhatikan kesejahteraan para imigran yang kedudukannya dianggap amat vital bagi kelangsungan gerak dan dinamikanya ekonomi, maka bukan hanya para imigran melulu (an sich) saja yang diperhatikan. Keluarga dan terutama anak-anak mereka juga dilindungi dari segala macam bahaya yang bisa akan mengganggu kinerja kepala keluarga yang mencari nafkah, sang ayah atau ibu, yang biasa disebut dengan istilah: BREAD AND BUTTER – roti dan mentega, yang mencakup pengertian yang mendapatkan nafkah untuk menghidupi seluruh keluarganya. Bentuk nyatanya adalah antara lain: adanya Undang-Undang yang mengatakan BAHWA SETIAP ANAK YANG BELUM CUKUP BERUMUR 12 TAHUN, TIDAK BOLEH DITINGGALKAN SENDIRI, tanpa tuntunan dan pengawasan kedua atau salah satu dari orang tuanya, atau akan diharuskan agar diserahkan kepada sebuah tempat yang biasa disebut sebagai DAY CARE. Saya jarang sekali bisa melihat anak-anak seumur di bawah 12 tahun, berkeliaran di mana-mana, seperti pemandangan biasa di negeri kita. Di jalan-jalan besar ada pengemis dan anak-anak pengangguran yang tidak diketaui apa kegiatannya, mengemis tidak, mengasong juga tidak. Kalau saja mereka menjadi pemulung masih lumayan berproduksi, apa pula sesungguhnya kerja mereka yang mondar-mandir ini?
Golongan yang terbesar dari para imigran itu adalah +/- 50% berasal dari ras China dari negeri China atau negeri lain, misalnya dari bagian lain di benua Amerika, juga dari Amerika Serikat. Menyusul sebagai bagian besar selanjutnya adalah dari India dan Pakistan serta negara-negara di Afrika. Dari demografi seperti itu juga terungkap bahwa separuh dari para pelajar asing adalah asal negara Kekaisaran Jepang. Jadi di Toronto ini, amat menonjol campur aduknya ras asal bangsa. Mereka ini membawa semua adat istiadatnya masing-masing dan tentu saja kebiasaan-kebiasaannya yang kalau dipikir-pikir bisa dikatakan oleh istilah yang lazim di dalam bahasa Indonesia : seperti gado-gado. Bagaimana bisa terasa di dalam kehidupan sehari-hari?? Menurut pendapat saya, mereka ini seperti suku-bangsa yang bersatu di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia , dan bersatu juga dengan cara taat di bawah lindungan Undang-Undang Negara. Itulah sebabnya sikap seperti Bhinneka Tunggal Ika , bisa diartikan Persatuan di dalam Keberagaman di Indonesia juga diterapkan di Kanada, dengan sikap yang sama seperti: Bhinneka Tunggal Ika – Unity in Diversity.
Saya yang sudah terbiasa naik bus dan kereta tram listrik yang relnya berada di tengah jalan umum untuk semua kendaraan roda dua dan empat, juga kereta di bawah tanah, dalam perjalanan selalu mendengarkan bahasa sebanyak dua atau lebih digunakan oleh pihak-pihak yang bercakap-cakap dan dipahami oleh mereka. Saya harus menduga-duga kalau memang bisa dan sempat, bahasa apakah itu gerangan?? Kalau sudah menyerah, saya tidak menaruh peduli lagi. Ke-tidak-peduli-an saya ini bukan sebab tidak hirau, tetapi disebabkan oleh pertanda bahwasanya saya berputus asa, tidak mampu men-deteksi dan karena terlalu sering dan terlalu banyak saat, saya menemui hal semacam begini. Mereka itu dari segala lapisan strata pendidikan. Dari yang siswa sekolah, Dasar, Menengah dan Perguruan Tinggi, pekerja kasar, pekerja kantoran serta pekerja pabrik. Pada dasarnya mereka ini datang ke Kanada dengan keinginan yang sama: menata hidupnya yang kurang baik menjadi lebih baik lagi. Berapa jumlah mereka saat ini?? Perkiraan yang ada mendekati adalah sekitar jumlah angka 50%. Penduduk “asli” Toronto sendiri juga bukan asli juga, oleh karena yang paling lama bertempat tinggal di Kanada adalah orang Indian dan orang Eskimo, yang sekarang lebih dikenal sebagai: bangsa Inuit. Lalu orang-orang Kaukasian yang berkulit putih dan kelihatan amat banyak itu? Mereka ternyata juga pendatang, dan kebanyakan dari Eropa: belanda, Jerman, Prancis dan lain-lain.
Berbeda dengan di Indonesia, saya biasa “bisa” menduga dialek dan bahasa Daerah, ada Batak, ada Madura dan Ambon serta Wong Pelembang, Wong Jowo serta Basa Sunda, bahkan orang Banjar sekalipun. Mereka ini suku bangsa di Indonesia . Di Toronto adalah mereka yang beremigrasi sebagai imigran, ada yang masih tetap memiliki kewarganegaraan asalnya, seperti halnya saya yang sudah Permanent Resident bersama-sama dengan istri saya sejak beberapa tahun yang lalu, telah mendapatkan ijin untuk tinggal tetap di Kanada. Adapun ijin tinggal tetap ini, kategorinya adalah:
Permanent Resident (formerly known as a landed immigrant) – sebagai Permanent Resident
Student – sebagai pelajar atau siswa
Temporary worker who may require a work permit – sebagai pekerja sementara yang mungkin harus mempunyai ijin untuk bekerja
Long-term worker who must obtain a work permit (some countries refer to this as a green card) – sebagai pekerja tetap yang harus dan wajib mempunyai ijin bekerja tetap (yang di negara lain biasa disebut sebagai geen card)
under the requirements of the new Canadian Experience Class (look under Important News) – di bawah syarat-syarat dari Canadian Experience Class (silakan membaca di Important News) yang menerangkan detail-detailnya lebih lanjut
Akan tetapi juga ada disebutkan bahwa para calon pendatang ini, termasuk para pendatang yang telah tiba di wilayah Kanada, agar mengambil sikap berhati-hati terhadap para makelar yang terlihat mempunyai kantor resmi, ijin resmi, ternyata kemudian akan terbukti sebaliknya. Saya sendiri dalam masalah ini dan selalu menganjurkan siapapun agar mengurusnya sendiri dan tidak menyerahkannya kepada orang lain, kantor pengacara serta kantor apapun namanya yang menyatakan dirinya mampu mengurus hingga beres. Lebih baik kita berhati-hati dan menaruh curiga kepada orang lain, demi jaminan bagi keselamatan diri sendiri. Pemerintah Negara Kanada adalah termasuk tindak laku korupsinya dan kriminalnya bisa digolongkan amat kecil. Tetapi sikap kehati-hatian (fiduciary), akan besar sekali manfaatnya berlaku setiap saat dan juga pada masa mendatang.
Mencurigai orang lain kategorinya bukan dosa, betul kan ?
Siapakah pelindung diri kita kalau bukan diri sendiri??
Melihat pertumbuhan jumlah imigran di kota ini, tanpa sengaja saya melihat sesuatu yang tidak pernah duga akan saya jumpai. Pada suatu gathering para orang-orang yang sudah tua yang disebut juga dengan istilah seniors, bersama-sama dengan saya belajar Creative Writing di suatu Community Centre, kami saling mengenalkan diri kita masing-masing, orang per orang secara bergantian. Ada dua orang Jepang, satu asal Kenya, dua Korea dan juga empat dari India, satu asal Iran dan saya sebagai satu-satunya dari Indonesia. Sebagian besar sudah berusia 60 ke atas. Si Nakamura, laki-laki asal Jepang yang selalu tersenyum itu saya ajak berbicara dalam bahasa Jepang, tidak banyak menyahuti upaya saya memancing percakapan. Meskipun dengan ramah dia mengatakan: “I am not a Japanese, I am a Canadian because I was born in Vancouver .” Heh, selanjutnya ketika menjawab pertanyaan saya, dia bilang bahwa dia berusia saat itu 80 tahun, saya tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut saya. Nakamura ini mister bukan san, masih tampak berbadan sehat dan mengemudi mobil sendiri. Demikian halnya dengan Mrs. Yamashita yang sudah sekitar 70an usianya, bersuamikan seorang Kanada dari ras Kaukasian, bercerita bahwa dia sering masih cruising ke daerah-daerah yang belum pernah saya pikir untuk mengunjunginya, ke kepulauan Bahama, ke Maldives (Maladewa) dan malah ke Haiti, dia merasa sebagai Torontonian karena selamanya sejak lahir dia bertempat tinggal di Toronto. Dalam kumpulan orang-orang yang begini macam, Ibu Tutor kita Elizabeth , berhasil melatih para orang-orang gaek ini dengan memaksa setiap orang untuk bisa megekspresikan diri dengan cara agar setiap bertemu sudah siap dengan sebuah karangan berupa apapun yang bila diprint akan menghasilkan serentetan kata-kata yang jumlahnya minimum dua ribu kata. Bagi saya yang sudah banyak menulis, sudah sebanyak sekitar 300 judul masing-masing mencapai 9 sampai 10 halaman, hal tersebut bukanlah masalah besar. Hambatan saya hanya satu: bahasa Inggris. Bahasa Inggris saya biasanya hanya lebih baik bila saya lakukan di dalam percakapan, karena semua kekurangan saya dalam berbahasa Inggris hampir selalu bisa saya tutupi dengan body language, seperti si Tarzan melakukannya, begitu ungkapan yang banyak dipakai oleh orang Indonesia. Tetapi hambatan demikian itu hanya terjadi karena saya berpikir dengan pola seperti itu, mengingatkan saya ada kata-kata mutiara yang bunyinya demikian. Keakraban yang terjadi meyebabkan salah seorang berkulit putih yang usianya sekitar 74 tahun bahwa sebagian besar sejawatnya dan teman-temannya yang sesama kelahiran di kota Toronto , sudah mulai punah dan dia merasakan kesepian yang telah menyerang sanubarinya. Meskipun demikian halnya, sambil tersenyum dia membacakan bagian essay- esai karyanya sendiri, menyebut dirinya sebagai endangered species. Hampir semua yang hadir mengekspresikan keterkejutannya, mendengar istilah yang digunakannya seperti itu. Sebagai makhluk yang segera akan punah !! Sebuah kota yang perkembangannya dirintis sehingga seperti ujudnya saat ini, oleh nenek dan kakek moyangnya, ternyata sekarang telah dihuni oleh sekian banyak orang asal bangsa lain, yang angka pertumbuhan dan kembang kependudukannya telah mecapai sampai sekitar separuh atau malah lebih dari jumlah penduduk seluruhnya !?!
Hal ini juga pernah dikemukakan juga oleh mantan Perdana Menteri Singapura, yang masih menjabat sebagai Menteri Mentor, mengenai demografi di negaranya. Beliau bilang, mencermati penduduk pioneer Singapura yang asal Chinese yang saat ini masih mayoritas, akan tetapi kaum perempuan mudanya sudah banyak yang memutuskan menghindari hidup bersama selaku suami-istri (berkahwin), ditambah lagi banyak juga yang telah memutuskan untuk tidak mau mempunyai anak. Maka mereka yang keturunan para pioneer ini, akan menjadi seperti layaknya sebuah suku Indian di Amerika yang lekat dengan istilah The Last Mohicans!! Ini kata beliau, Lee Kuan Yew, akan terwujud pada sekitar pertengahan abad ini. Seperti halnya di Kanada sekarang para pioneer di Singapura juga amat tergantung kepada para imigran, yang telah banyak menghuni tempat-tempat yang strategis. Orang asal Indonesia belum terdengar ada yang bisa naik jenjangnyta di Kanada untuk kedudukan-kedudukan yang menjanjikan. Sudah ada orang asal India yang menjadi MP, Member of Parliament atau telah menjadi lawyer yang hebat, tentu saja mereka ini sudah beralih status menjadi warganegara di negara ini, Kanada.
Governor General Michelle Jean – [ http://www.efootage.com/stock-footage/41186/GovernorGeneralofCanadamichellejeangeneralswoman ],
adalah wanita berkulit hitam dan berperawakan mungil asal Haiti - Karibia, memulai hidup baru selaku imigran ketika berusia 8 tahun, yang telah mengemban jabatan paling mulia di seluruh Negara Kanada, sebagai Wakil Kepala Negara dari Ratu Elizabeth II. Ratu Elizabeth ini adalah Kepala Negara bagi enam belas Negara-Negara yang berlainan, seperti Kanada dan Australia juga.
Gambaran besar dan luasnya Kanada adalah sekitar lima kali luas Tanah Air kita, karena Indonesia itu luasnya adalah 1,9 juta kilometer persegi sedang Kanada 9,9 juta kilo meter persegi. Jumlah garis pantai (daratan-air laut) seluruh pulau-pulau di Indonesia adalah +/- 54.000 kilometer, sedangkan batas teritorial Zona Bebas Ekonomi adalah +/- 80.000 kilo meter. Panjang pantai wilayah seluruh Negara Kanada adalah +/- 202.000 kilometer. Perbedaan yang amat mencolok adalah seluruh pantai Kanada dengan Indonesia adalah: Pantai Kanada tidak sepanjang tahun (mungkin beberapa bulan saja) bisa diakses, karena banyaknya es dan salju, sedangkan Indonesia memiliki garis pantai yang bisa diakses sepanjang tahun dan itu dapat dilakukan pada siang maupun malam hari, bila mana pun. DI SITULAH MESTINYA PEMERINTAH KITA BERKONSENTRASI, DI MANA BANYAK PEKERJAAN DAN KEMUNGKINAN BISNIS YANG MENJANJIKAN. Janganlah kita berkonsentrasi di pekerjaan yang mengandalkan sumber daya alam, yang sebagian besar TAK TERBARUKAN. Dengan lajunya perusakan alam, menebangi pohon, tanpa menanam sebagai kompensasinya, maka Indonesia telah berbuat salah, seperti apa yang dibuat di Kanada pada lebih dari seratus limapuluhan tahun yang lalu. Perusakan alam di Kanada dan Amerika Serikat mungkin kurang disadari pada waktu itu. Tetapi dengan majunya ilmu pengetauan, maka kita sudah sampai kepada kesadaran atas perbuatan manusia yang salah pada jaman dahulu. Tentunya Indonesia bisa menghentikan hal-hal keliru yang telah dan sedang terjadi dibuat oleh para pelaku serakah terhadap negerinya sendiri. Apakah tidak bisa berpikir sejenak, bagaimana nasib anak cucu kita, yang kita warisi dengan banyak musibah buatan kita, hanya karena kita kurang bijaksana??
Bukan aneh kalau bursa kerja di Toronto telah menarik banyak para penganggur, para pekerja yang karirnya telah sampai di puncak, akan tetapi masih ingin lebih baik lagi, para ahli yang tidak mendapatkan remunerasi yang tidak seperti diharapkan, para entrepreneur dan para intrapreneur yang ingin mendapat suasana kerja dan lingkungan hidup yang lebih nyaman, mendapatkan kesempatan emas yang sudah terbayang di depan matanya. Mereka ini, harap diingat bukan semuanya orang Indonesia , ada China dan ada India serta Kamerun, seperti semut atau laron dalam kegelapan yang melihat cahaya terang dari kejauhan.
Saya sungguh menginginkan apa yang saya tulis berikut ini mendapatkan perhatian yang lebih teliti dari mereka yang tergolong di dalam kategori-kategori di atas, sebagai sesuatu yang amat mengemuka – priority. Seperti sering disitir oleh ibu saya istilah Sri Gunung, adalah indah dipandang dari kejauhan, tetapi setelah dekat sekali akan tampak tonjolan-tonjolan yang belum tentu akan sesuai dengan bayangannya ketika masih dipandang dari kejauhan.
Di sebuah kondominium di tengah-tengah daerah yang disebut downtown, duduk seorang concierge di bilik kerjanya yang merangkap sebagai front office dari gedung itu. Apa kerjanya seorang concierge? Silakan klik link berikut agar dapat menangkap maknanya dengan lebih lengkap: http://www.ehow.com/about_5393362_hotel-concierge-job-descriptions.html . Pekerjaan ini bukan pekerjaan kelas rendah dan bukan pula pekerjaan yang bisa disepelekan oleh dan bagi siapapun. Dia berumur sekitar 55 tahunan, akan tetapi saya terkejut juga mendengar kisah dan seluruh keterangannya bahwa dia berasal dari Srilangka, bergelar Doktor dalam ilmu ekonomi. Dia telah menjalani tugas pekerjaannya ini lebih dari sepuluh tahun dan sedikit terbersit dari kata-katanya bahwa dia merasa patut kalau saja ada tawaran yang sesuai dengan strata pendidikannya. Di sinilah kuncinya: STRATA. Yang satu ini di setiap negara ada perbedaan cara mengukurnya, tergantung juga kurun waktunya bilamana waktunya, telah terjadi. Tahun 1950, 1960 atau tahun 2005? Itu amat berbeda. Di suatu saat dan di suatu negara, strata seperti ini bisa saja menjadi Staf Ahli seorang Menteri, bahkan bisa menjadi Menterinya juga. Tetapi pada tahun 2007, waktu saya berbincang dengan dia, hal sebaik itu tidak terjadi. Apa pasal??
Dahulu kala sekitar 50 tahunan yang telah lalu jumlah sarjana tentu saja tidak sebanyak yang ada pada saat sekarang, baik dokter atau sarjana-sarjana lainnya. Nah inflasi tak terkendali gelar akademisi tentu saja melejit pesat dan bertambahnya memenuhi sesuai atau melebihi permintaan yang ada. Oleh karena permintaan naik maka tendensi penurunan mutu dengan pasti berubah menyeimbangi permintaan pasar, ada yang karena keinginan mutu pekerjaan yang dikelola bahkan ada karena permintaan pasar gengsi. Yang terakhir inilah yang mendorong penurunan mutu itu. Karena terikut menjadi komoditas yang menjadi komersial itulah maka tiap-tiap pemerintahan berusaha mempertahankan mutu, salah satunya dengan menghormati sarjana lokal secara berlebihan. Itulah sebab dari kenaikan timbulnya penilaian kesarjanaan di mana-mana. Kanada amat terkenal keras dalam menilai kesarjanaan yang berasal dari Negara lain. Dokter gigi lulusan luar negeri Kanada, bila berkehendak untuk melanjutkan pilihan ingin berpraktek di Kanada, maka diharuskan mengikuti kuliah kembali selama dua tahun. Ada seorang dokter berkebangsaan Kanada yang telah berhasil menambah gelar kesarjanaannya di Amerika Serikat, setelah kembali ke Kanada malah mengalami banyak hambatan dalam meniti karirnya. Demikianlah seperti halnya penyakit yang mewabah dan menular, maka sikap arogansi seperti ini malah menular terus, tidak hanya secara internasional, tetapi malah secara nasional di antara para pengelola lokal perguruan tinggi. Sekarang masyarakat menjadi maklum mengapa kita sampai pada tahapan di periode arogansi yang tidak masuk akal.
Saya ingat waktu bencana Tsunami di Aceh yang silam. Datanglah sebuah kapal induk yang perkasa dengan segala fasilitas kemewahan yang dipunyainya, mulai menolong para korban bencana. Di kapal ini tersedia segala fasilitas cangih yang bisa menangani kondisi terburuk di dalam peperangan besar. Tentu saja semua orang lupa, malah sebaliknya mengelu-elukan datangnya pertolongan dari langit semacam ini dengan bentuk-bentuk gratifikasi yang digelembungkan oleh media dan para pemuka masyarakat. Saya melihat lemahnya struktur pengawasan dari pemerintah kita yang tidak mengingat sama sekali adanya peraturan mengenai dokter yang berpraktek di Indnesia dan menangani pasien yang rakyat Indonesia . Hari inipun amat banyak praktisi dokter asing yang melakukan kegiatan komersial dalam bidang kesehatan di kota-kota besar di Indonesia tanpa diusik oleh siapapun juga. Apa yang akan dipakai menjawab masalah ini adalah kondisi bencana?? Bolehkah atau tidak bolehkah?? Menilai kesarjanaan sekarang makin nyata banyak yang bias, tidak jelas pelaksanaannya.
Hal tersebut di atas amat perlu digunakan sebagai pertimbangan sebelum berangkat menuju Kanada dengan hanya mengandalkan gelar kesarjanaan saja. Kalau hanya ingin melakukan upaya perbaikan basib, dan bersedia bekerja “kasar”, misalnya menjadi pengemudi truk barang, maka hal seperti itu akan mendapat pengharagaan komersial yang lebih tinggi. Ada sarjana strata tiga dari universitas di Jerman, orang Indonesia , bekerja menjadi pengemudi truk, bisa hidup layak di Kanada. Bagi saya, dia akan boleh saja sekarang berkata: “What the heck, apa peduliku dengan yang disebut gengsi. Saya kan saya, anda adalah anda, laahh...!!” Bagi saya juga, gengsi adalah omong doang, omong kosong saja.
Pertimbangan sebaiknya menyeluruh. Kanada terkenal dengan musim dinginnya. Di Toronto adalah hal biasa suhu udara mencapai sekitar minus 30 derajat Celsius. Jauhnya dari Tanah Air adalah sekitar lebih dari 20 jam penerbangan, dan itu amat mahal biaya perjalanannya apabila hanya untuk memenuhi rasa rindu suasana Lebaran di dusun sendiri, makanan sendiri dan juga kehangatan di antara keluarga sendiri.
Dengan semboyan burung yang sudah di tangan jangan dilepaskan, berlaku bagi yang karirnya sudah lumayan di Indonesia . Jangan hanya karena ambisi, impian menikmati hidup yang memang terlihat teratur dan mewah seperti tergambar di TV atau Video mengenai kehidupan di Kanada, maka karir yang sudah lumayan di Indonesia ditinggalkan begitu saja. Kanada adalah surga bagi yang bisa beradaptasi dengan kondisi lokal, misalnya mengerjakan sendiri pekerjaan rumah tanga secara keseluruhan? Apakah pernah dipikirkan bahwa kebudayaan kita yang megalihkan pekerjaan “kotor” kepada pembantu rumah tangga di Indonesia bisa dilaksanakan di Kanada?? Biarpun mampu membiayai semua ongkos dalam masalah menggunakan pembantu, belum tentu akan bisa melaksanakannya karena visa bukan masalah mudah untuk hal seperti ini!! Semua orang Indonesia harus bisa menanggalkan sifat feodalnya, mejadi orang biasa dan itu mungkin berlaku bukan hanya di Kanada saja, tetapi berlaku di banyak negara maju lainnya. Yang bukan mudah dilakukan di Indonesia tetapi sukar dilaksanakan di Kanada adalah antara lain:
1. Disiplin mengikuti undang-undang dan peraturan yang berlaku
2. Tidak terlalu mencampuri urusan orang lain dalam masalah ras, agama, dan politik dan “etiket” yang di anut di negara asal. Di Kanada tidak dikehendaki hal-hal seperti itu, apalagi ditonjolkan.
3. Meskipun bahan makanan yang ada di Idonesia itu mudah didapat di Kanada tetapi prtimbangan bahwa semua keinginan itu harus disesuaikan, jangan sampai Lebih Besar Pasak Dari Tiang
4. Sebagai Permanent Resident tidak boleh ikut serta di dalam Pemilihan Umum dan tidak boleh menjabat sebuah jabatan strategis di pemerintahan Kanada
Secara umum bagi diri saya, tinggal di Kanada amat memberi kesempatan untuk tetap aktif dan segar secara fisik, karena bisa hidup tanpa Pembantu Rumah Tangga. Mencuci baju, ada mesin cuci, menyeterika, saya bisa melakukannya. Memasak makanan sekedarnya, yang penting saya sendiri doyan, saya bisa.
Mencuci piring dan alat makan, siapa takut??
Gengsi?? Sudah saya tinggalkan di Indonesia , nun di sana di balik dunia, dua belas jam perbedaan zona waktunya.
Di Indonesia ada tiga Pembantu Rumah Tangga. Kapan saya bisa mandiri? Belum lagi anak-anak dan cucu yang biasanya hampir selalu tidak membiarkan saya bekerja apa-apa !!
Anwari Doel Arnowo
3 Juni, 2010 - 03:33 pagi hari
Anwari Doel Arnowo
anwaridarnowo@gmail.com
Verba volant scripta manent...
Literal: spoken words fly away, written words remain
Literal: kata diucapkan akan terbang menghilang, tetapi yang dituliskan akan kekal
anwaridarnowo@gmail.com
Verba volant scripta manent...
Literal: spoken words fly away, written words remain
Literal: kata diucapkan akan terbang menghilang, tetapi yang dituliskan akan kekal
Subscribe to:
Posts (Atom)